“rinnggg…riinggg…riinggg, beli..beliii…dua seringgit,” celetuk Mail dalam film Upin dan Ipin dari balik bantalku. Seperti halnya orang lain yang terlihat menggerutu saat dibangunkan oleh dering handphone di tengah malam buta, dengan mata yang terasa masih saling berkait diantara bulu-bulunya, aku mencoba meraba-raba suara yang menjalar naik ke telingaku. Mencoba menebak-nebak, dari siapa gerangan bunyi sms (karena ringtonenya itu ringtone sms), seberapa pentingkah smsnya, dan seberapa besar kah ia menaruh harapan padaku untuk membalasnya. Dengan sedikit memicingkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba, setelah kugapai, kubaca pesan singkat yang ternyata dari orang yang terkasihku, isinya mencoba mensugestiku untuk menatap ke luar jendela, menatap cahaya bulan. Sedikit berat memang, tapi dengan rasa sayang yang sama sepertiku, siapa pun pasti akan bersedia untuk sedikit terjaga dari tidur, meski hanya sekedar memanjangkan lehernya kea rah jendela, sekedar member rasa puas kepada kedua belah pihak.
Malam itu, jangkrik pun terlelap kelelahan setelah separuh malam menjadi salah satu pengisi acara dalam pesta para kelelawar diatas pohon mangga samping rumahku. Sambil tersandar di kaki jendela kucoba mencari-cari sumber cahaya nan elok yang setia menaungi para gelandangan dan kabut pekat di setiap hadirnya, sedikit mengucek dan membasahi mataku dengan beberapa tetes airmata. Kutemukan ia sedang berbaring dikasur awannya, membalas tatapanku dengan usapan cahayanya di pipi kanan. Setelah sejenak menjauh dari kasurnya, ia hanya tampak separo, memperlihatkan bagian gelap pada dasarnya. “dasar wanita,” pikirku, “apa indahnya sih ngeliatin bulan separo”? mengapa bukan bulan purnama, saat-saat ketika aku pertama berjumpa dengannya? Ketika kusapa dirinya yang sedang bersenandung menunggu bus di halte dan cahaya bulan hanya mengenai setengah bagian bawah tubuhnya. Atau saat bulan sabit, waktu aku tergagap menyatakan perasaanku kepadanya hingga aku tak tahu saat itu ia terisak atau terkekeh. Pertanyaan itu terpikir seiring semakin menebalnya kabut di jendela di ujung hidungku, cukup tebal untuk dibuat gambar di daerah itu. Semakin tebal, hingga aku tak lagi mampu – dan juga tak cukup sadar – untuk menatap bulan separo itu hingga dering pesan singkat itu terdengar lagi, dan aku terjaga untuk kedua kalinya dalam malam itu. Dalam pertarungan antara mimpi dan cahaya bulan dikurangi kabut dijendela aku membaca pesannya.
Indah bukan? Maaf membangunkanmu, aku g bisa tidur sih, jadi iseng aja. Tau g kenapa harus bulan separo? Sebab kalau g ada bulan separo, kamu g akan pernah bisa mengungkapkan perasaanmu padaku, karena bulan purnama tak akan menjadi bulan sabit tanpa bulan separo, begitu juga sebaliknya. Jadi tanpa dia, mungkin kita g akan pernah bisa ketemu… met tidur ya…..
*****
“An, Andri….!!!!! Ayo bangun, udah jam 8, kamu g kuliah???” terdengar suara memanggi dari luar kamar yang mengagetkanku hingga handphone yang ku dekap terjatuh ke kolong ranjang.
Hah, jam 8??? “ ia ma, Andri kuliah koq”………………..
2 comment:
barusan lg konulis
yoi...
ganti blog bro...
Posting Komentar