18 Juli 2012

Puisi Senjakala

Seperti Layang-Layang Api yang meramaikan sandiakala, Aku masih berharap kau masih sudi meramaikan kesenduanku.



17 Juli 2010

Aku ingin warna hijau di soreku.
bukan cokelat.

Dizastri,
andai saja kau mampu bertahan tanpa pertanyaan, maka aku akan berhenti bertanya. karena kau tahu, aku tak ingin percakapan kita berakhir, meletakkan kita pada titik nadir, berkata "ini semua adalah takdir," dan berlalu dibelakang angin yang berhembus getir.


tanpa seucap salam pun.
akhir-akhir ini selalu begitu.
aku akan tersenyum karenanya. kecut.

hari ini aku melihat Layang-Layang Api saling menyambar, beterbangan dibawah senja yang jingganya membakar di ujung yang satu dan gelap mulai mengiris di ujung yang lain. meski November belum tiba, mereka sudah disana, menjadi iring-iringan gerimis yang menangisi malam. tahu kah kau Diza, mereka mengingatkanku pada percakapan terakhir kita dibawah hujan yang mengguyur, menghabiskan sore yang sama dalam guratan langit yang benar-benar berbeda. mengingatkan aku juga kepada tawamu yang kini masih kusimpan dalam sekotak biskuit, yang kubuka setiap kali aku bercokol bersama sepi setengah tidur.

aku bertanya, kau menjawab,
aku bertanya lagi, kau diam,
lama, lama sekali.

bagiku, cinta adalah keakuan dan kekamuan yang mengkita. lalu didalam kekitaan kita ada seutas keterikatan yang mengkait. maka pernah suatu senja, kau seperti tengah mengendurkan kait dengan keheningan. terlebih ketika angin senjakala mendukungmu. ikut diam dan menjadi benci pada api lilin yang menari. seketika kita dipisahkan oleh alunan instrumental dan malam yang tak lagi romantis. aku tak suka itu. ya, mungkin sejak saat itu aku jadi tidak suka pada keheningan malam.


Diza,
seseorang pernah bicara mengenai ketakutan padaku. katanya, setiap orang akan menjadi pengecut terhadap sesuatu. dan tahu kah kau, aku merasa sesuatuku adalah kau, matamu yang empat, dan senyummu yang muram. ketakutanku adalah saat kau beralih pada transparansi fisik, memudar, menjadi siluet. kepengecutanku adalah kau dengan segala pesonamu namun dengan pandangan yang kontralateral. ya, tidak spesifik, tapi aku tahu.



mungkin perahu kita hanya menunggu siluetmu
atau mungkin hanya aku yang malas mengangkat sauh
menyaksikan dermaga menahan peluh
merasa ragu meninggalkanmu jauh
meski sangat jelas tanganmu meraih Layang-layang Api. 

tidak pernah ada yang tahu satuan jarak yang memisahkan keterikatan, Diza. aku juga tidak ingin tahu. yang jelas, diammu juga jawabanmu yang seadanya meletakkan kita pada jarak yang sangat jauh. jadi, ketakutanku adalah sebuah logika sederhana yang masuk akal. karena diujung semua logika ciptaan yang waras, aku tidak ingin kehilangan dirimu.

salam rindu lagi,
aku, Toples Gula.
Read More

17 Juli 2012

Hal yang Tak Lepas Ketika Malam Menerbangkan Sadar dari Mataku yang Terjaga Sembari Menunggui Hari Menemui Awalnya

Pict. from here
Pagi buta menusuk kulitku, menyisakan lebam kasat mata diantara iga-iga tak bertuan. dingin yang maya membangunkan beberapa butir airmata tatkala wajah kelabu yang selalu nampak dalam temaramnya dunia bunga tak pernah mengukir keindahan nyata seperti selama ini mengisi beberapa kekosongan batin. tak kutemukan rasa sayang disetiap bait melankolisnya yang mengalun jenuh penuh peluh tanpa keluh. bayangnya tak kunjung melayang atau memudar meski gelengan kepalaku merasa enggan mengajukan tanya. pagi buta mengacaukanya.

cahaya belum kunjung berberkas, malam masih mengantuk, dan aku tengah berada di antaranya, terjaga dengan otot yang kelu, layu, tidak kaku bersama angin yang juga masih diam membisu. kudapati suaramu memecah hening, menanyakan keadaanku dan apa yang kulakukan. kau mendapatiku masih lekat bersama kebisuanku yang menerawang kegelisahan bayangnya dan kau pun berlalu.

aku tersandar di bingkai jendela, menatap lurus padamu yang memunggungiku dengan bantalmu, seolah marah, atau ngambek kata mereka. aku geli menyaksikan langit malam yang untuk pertama kalinya marah. bukan kah telah ku ceritakan kesahku padamu. Tentang matanya yang saat ini menyendu, soal rambutnya yang masih terus ia sisir rapi. atau mengenai tawanya yang mulai mengabur. bukankah?

temaram mencipta siluet di ufuk-ufuk fajar, mencakar bentuk-bentuk emas diantara kanfas hitam yang membiru, membunuh malam. Induk-induk bintang mulai menidurkan anak-anaknya sebelum mereka sendiri. lagu pengantar hari pun sedari tadi telah menggema, menyentakkan kita menjauhi amarah, membawa kita ke ujung ngarai untuk mandi bersama menenangkan batin sembari menunggui angin kering kembali membawa surat darinya. tentang matanya, soal rambutnya, atau mengenai tawanya. masihkah sama.
Read More

11 Juli 2012

Takeaway

It's Takeaway.
awalnya cuma iseng-iseng, pas dah jadi, eh, kepengen di upload.
sebuah header

saya pilih dominan warna pink, karena dari post dan rona blognya mba' Ninda kebanyakan nuansa feminim.
trus saya liat foto avatar blognya, dari sketsa sih keliatan pakai jilbab, so saya gambar saja (dengan spidol) orang yang pakai jilbab yang sedang tersenyum. orangya lagi nulis karena berhubung itu website yg isinya banyak tulisan, dan karena pastinya mba Ninda suka nulis. terakhir sesuai nama website-nya: listeninda, saya menambahkan pot bunga berisi "tanaman musik" dimana sebagian bunga musiknya diterbangkan angin dan melebur bersama udara menjadi alunan musik yang asyik untuk didengar...
dan setelah di edit,

Listeninda.com ver I


Listeninda.com ver. II
Listeninda.com ver III
TADAA...

sederhana saja sih, ngga bagus-bagus amit. hehe
tapi silakan dipilih.

warnanya bisa diganti koq kalau mau...

hope you like it. :))))
Read More

06 Juli 2012

ada "dan" ditengah kamu dan aku.

Pict from Here
apa yang terjadi pada kita? apa yang terjadi pada sekata yang bercerai menjadi kamu dan aku? lalu mengapa tiba-tiba saja ada "dan" yang menjedakan kamu dan aku?


kita dulunya adalah pedendang senandung di beranda, menikmati pagi dan air mata Tuhan yang singgah di ketiak daun. kita adalah apa yang selalu dikicaukan pipit dan di tidurkan malam. itu sebelum waktu menjadi pencemburu.


jadi aku mulai bertanya-tanya tentang siapa yang lebih dulu bosan meninggali rumah kita hingga memutuskan untuk meninggalkan. kamukah? atau waktukah? pelan-pelan dari dalam rumah aku melihat lintasan yang menjejak lantai, menapak meja, lalu keluar lewat pintu ruang tamu. ada kamu di ujungnya, memunggungiku sedang membuang remah-remah pagi yang disebut kenangan. lantas aku membaca aura. mencerna keadaan dan menjelajah kejadian hingga aku tiba pada sebuah kesimpulan bahwa ada jarak antara kamu dan aku.


maka aku berlari ke kamar, membuka lemari, mengaduk laci, mencoba menemukan kita yang tersisa. tak ada. tak ada kita yang kamu sisakan. mungkin sudah kamu terbangkan. mungkin terselip di lipatan remah pagi yang kamu mubazirkan. atau mungkin jika tidak cukup tega kamu akan membawanya pergi bersamamu. yang jelas tidak ada lagi kita sehingga aku dan kamu kini menjadi kesatuan yang masing-masing. berdiri sendiri. saling menghitung satuan yang men-jarak-kan kamu dan aku. kamu hanya akan menjadi kamu. tapi aku tidak akan bisa menjadi aku lagi. kamu telah membawa aku bersamamu.


maka siapakah aku yang melihatmu menciptakan jarak?

tak bisakah kamu dan aku menjadi hanya kamuaku? tanpa dan, tanpa spasi?
tak bisakah kamu dan aku melebur lagi saja menjadi kita?


Salam untuk waktu,
Falra,
Tujuh Juli DuaRibuDuaBelas.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.