25 Maret 2012

perihal yang tak mau hilang

entah kenapa, meski rinai-rinai gerimis tak lagi terasa mesra, atau meski hari kemarin yang dicuri pangeranmu sudah aku relakan, atau meski tak ada lagi irama-menyengat-bahagia pada setiap senandungmu, masih ada kilasan momentum mengekor di ujung-ujung lamunanku.

seperti anak ayam yang baru menetas, mencuap-cuap dan mengikuti induknya kemana saja, masih ada sesuatu yang tak mau lekang dari benakku. sebuah keriangan. sejumput kesejukan. sekaligus sebentuk sayatan.
senyumanmu.

Ori. Pict. From Here

Read More

07 Maret 2012

Confusychosis

Dear Lana,

Suatu ketika aku bertanya pada diriku sendiri, apakah mencintai itu akan membuatmu menjadi gila? Apakah kecintaan seseorang pada sesuatu adalah kegilaan? Dan mengapa seseorang yang begitu mencintai lantas juga bisa tergila-gila? Sesungguhnya, gila itu apa? Milik siapa?

Ah, maaf Lana. Aku mungkin membuatmu bingung. Aku hanya heran dengan kata ‘gila’ itu kini sering disebut-sebut. Dimana-mana. Dirumah, kantor, teve, pasar. Maka siapakah yang sepantasnya kita katakan gila?

Waktu aku SD pernah ada seorang wanita kumal yang selalu berdiri di balik pagar batu rumahnya, tengah meracau dengan liur yang selalu tumpah dari mulutnya. Ya, kata orang, dia ‘gila’. Katanya, kekasihnya pergi meninggalkannya, maka ia menunggu disana. Dan ya juga, ia dikerjai. Wanita itu melakukan apapun perintah usil dari luar pagar yang dimengertinya. Benarkah Lana? ‘gila’kah ia? Siapakah yang ‘gila’? Wanita itu atau yang mengerjainya?

Di waktu yang dulu pula, seorang pria hitam tak berumah, berbaju loreng sering datang di taman sekolah, duduk penuh antusias diantara siswa SD meracaukan kisah-kisah perang melawan penjajah, lengkap dengan bunyi senapan dan granat yang meledak. Para siswa pun tak kalah antusias mendengar dengan imajinasi penuh. Lagi, katanya dia ‘gila’ setelah keluarganya menjadi korban penjajahan dulu. Benarkah?

Lana,

Mungkin gila adalah objektivitas. Mungkin status itu bergantung pada seberapa banyak, atau seberapa sering  ‘katanya’ dituduhkan. Maka penantian di tengah mereka yang tidak menanti adalah kegilaan. Kehilangan di tengah kelompok yang tak pernah kehilangan adalah kegilaan. Mungkin saja dalam pikiran mereka kitalah yang gila, dan mereka yang waras, hanya saja suara mereka tak cukup banyak. Ah, tapi benarkah begitu? Jika memang begitu, lalu mengapa di suatu ketika yang lain saat ada banyak individu yang dikatai gila terpenjarakan, mereka malah saling mengolokkan kegilaan disekitarnya alih-alih memperjuangkan kewarasannya masing-masing? Bukankah mereka sama-sama gila? Mengapa bukan sang sipir, atau bukan aku yang mereka katai gila?

Mungkinkah kegilaan adalah keterpenjaraan yang lebih sempit dari jeruji besi tempat mereka tinggal? Mungkin iya. Mungkin kegilaan perlahan menjadi kurungan masing-masing individu oleh raganya terhadap lingkungan. Sehingga interaksi yang paling waras untuk dilakukan adalah berbicara dengan dinding-dinding raganya itu. Dengan dirinya sendiri. Mungkin pula kegilaan adalah keterhempasan dari masa lampau. Waktu mengempas mereka di masa kini dan bersamaan memaksa meninggalkan jiwa mereka di masa lampau. Mereka, hanya tidak berada pada waktu yang tepat. Tapi siapakah yang akan mengerti? Keterhempasan mungkin membuat mereka menjadi terasing, menjadi sendiri, menjadi kesepian. Siapa yang tahan menjadi sendiri? Tidak ada. Tidak juga orang ‘gila’. Maka mungkin mereka bicara, menyanyi, bergumam sendiri. Menciptakan seseorang yang meski khayalan untuk menggantikan jiwa mereka yang tertinggal. Kalau memang begitu, siapa yang bisa meyakinkan kita bahwa kita, aku juga kamu Lana, tidak gila jika interaksi yang paling waras untuk kita lakukan adalah dengan diri kita sendiri? Toh, kita juga terjebak dengan memori kita masing-masing.

Lana,

Setiap orang bisa berbahagia dengan berbagai alasan, namun kebanyakan dari kita bersedih karena lasan yang sama: kehilangan. Kata dokter, kehilangan adalah pemicu depresi, dan depresi bisa membawamu ke arah kelainan kejiwaan. Tapi aku tidak depresi, sepanjang sepengetahuanku. Tapi sepengetahuanku tak bisa membuktikan apapun.
Aku mungkin sedang berada di penjara ketidakwarasan namun aku tak tahu apa aku ini gila atau tidak, sama seperti aku tak tahu aku telah jatuh cinta padamu atau tidak. Aku sedang diambang kebingungan. Para pencinta menyebutnya kegalauan. Jika gila adalah sebutan bagi ketidakwarasan karena kehilangan, lalu harus kusebut apakah ketidakwarasan karena kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah dimiliki? Dan ironisnya, Lana, ketidakwarasan ini menyamankan…

Ketidakwarasan padaku membuat bayangmu slalu ada,
menentramkan malamku, mendamaikan tidurku
Aku mulai nyaman berbicara pada dinding kamar,
aku takkan tenang saat sehatku datang.

Ketidakwarasan padaku, selimut tebal hati rapuhku
Aku takkan sadari bahwa kau tak lagi disini.*SO7:Ketidakwarasan Padaku
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.