Parodi-parodi malam kini telah bisa membuat secangkir kopi kehilangan rasanya. Kabut pun mencibir melihat pemandangan itu, meyadari dirinya tak berarti lagi disekeliling kotak temaram yang biasa mereka tumpangi. segala keindahan kegelapan pun menjadi terabaikan oleh ke"bego"an manusia. Untung saja tak ada tangisan perih hujan, mungkin ia sedang tak disini. mungkin ia terlalu sibuk meratapi kepergiannya dari kota untuk pindah ke kota lain. aku pun tak memungkiri betapa seringnya kau diperdaya keelokan tubuh dan kilau parasnya. indah.....
betapa mudahnya mereka, bukan.bukan... kami, melupakan waktu. Padahal sempat girus-girus otakku mencekik, berbisik kalau waktu itu adalah Tuhanku. Ia abadi, bahkan dalam waktu yang terhenti, akan tetap ada waktu yang berjalan, waktu disaat waktu itu berhenti. Tidak mengintimidasi, namun memberi pilihan ke detik yang mana kita akan melangkah.
Aku sedih pada species-ku sendiri yang berusaha mengaduk kopi yang kehilangan rasanya setelah manis sesaat dan mencari ambang batas tawar dengan pH yang benar-benar netral. Bulir-bulir bijihnya kelihatan memainkan orkestra perkusi memelas dan mengikis hitamnya dunia, menggelitik gelapnya cahaya hingga akhirnya benar-benar menghilang dan larut dalam adukan sendok penjelajah waktu. kami mulai gamang, berpacu bersama semu dan celoteh anak-anak kami. entah ini memang takdir dair sang Waktu, atau memang kesia-siaan yang menggerogoti penghujung rindu akan kasih-Nya.
sluuurpp....nikmatnya kopi tanpa rasa ditambah sedikit roti keangkuhan....
0 comment:
Posting Komentar