30 Oktober 2011

yang tersisa dari sepasang tua

original pict. from here
Karena kau terlampau renta untuk berjalan dan hari akan terlalu menyengat jika kuhabiskan sendiri tanpamu di padang teh maka aku hanya akan menemanimu duduk di halaman belakang rumah kita mempertanyakan hak milik kita yang masih tersisa. Menurutmu, apa yang tersisa dari kita selain rumah ini dan hasrat kasih untuk ditautkan hingga menjadi kebersalingan? Selain pundakku untuk kau sandari atau wangi rambutmu untuk aku baui? Selain rasa bahagia? selain rasa sayang? tidak ada, manis. Kita bahkan sudah tidak punya waktu untuk digelar untuk kemudian duduk diatasnya sambil saling memandangi senyum kita. Kau tahu kan, saat seperti itu, waktu hanya serupa gumpalan awan yang mengambang seolah tak punya daya untuk mengayuh periode. Ah, bagaimana aku tahu rupa awan? Aku selalu terlalu sibuk dengan senyumanmu.

 “Tenanglah sayang ,” jawabmu. “Bagiku, apa yang tersisa untukku kini lebih dari cukup. mengapa aku harus peduli pada apa yang aku miliki atau tidak aku miliki. Aku hanya akan selalu peduli pada apa yang aku butuhkan, dan itu adalah kau.”

Lalu aku sadar. Maafkan aku. Mungkin aku terlalu pesimis pada waktu. Mungkin aku terlalu cemburu padanya yang menungguimu. Menunggui kita.

Kau benar. Setidakknya sampai waktu benar-benar menjelma kekal, aku masih memilikimu.
Read More

25 Oktober 2011

aku hanya rindu

22 Maret 2010

baca lah lirik-lirik kejujuranku yang membohongi dunia, membohongimu.

Diza,
kesekian kalinya aku menulis untukmu, dan entah keberapa kalinya kau harus membalas tulisan-tulisanku, aku berterima kasih untuk itu. Aku hanya ingin tahu kabarmu, meski sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik pada kabarmu, aku hanya kangen pada senyummu, pada candamu, pada tawa yang kau gelakkan saat mendengar leluconku dalam amlpop hijau yang kita kirim bergantian. entah kenapa aku kini tak tahan tak mendengar matamu menyapa pasang pupilku seperti pantai yang tak tahan untuk dikecup pasang saat senja mengukir. jadi, bagaimana kabarmu?

Dizastri,
masih kah kau ingat hari-hari kau di belakangku di atas onthel, menyusuri pematang sawah, dan kau mendekap pinggangku erat, takut terjerembab diantara lumpur dan padi? aku rindu siang itu. Atau masih percaya kah kau pada kisah-kisah bintang saat malam-malam tanpa awan menggantung, dan kau terpukau di atas pundakku? aku rindu bau rambutmu. tapi andai kau cepat mengerti akan hatiku yang ikut menggantung bersama awan malam ini, menghalangi bintang. Aku kehabisan ide untuk memberimu isyarat, mungkin lelah. aku kehilangan senyumku.

Diza, oh Diza,
kuharap kau masih sudi membalas tulisanku, agar balasan-balasanmu genap dua kardus menggunung disudut kamarku yang muram tanpa bayangmu. Diza, hari ini aku jujur ingin tahu rasamu, ingin kejelasan sikapmu menghadapi batinku yang hanya tersangga perih sementara sepoi memaksaku merindu padamu, pada wujudmu. tapi kali ini tak kuinginkan cerita tentang dia dalam tinta seolah kau menempa belati dengan ujung-ujung penamu. Tak mampukah aku merayu perhatianmu, memalingkan matamu dari kail pesonanya? aku bertanya.

Diza,
dulu kutatapi kau dari balik bingkai kaca kecil yang bersandar dihidungku. Lebih, kini tak hentinya imajinasiku menatap bayangmu yang menghangatkan malam, secara tak sadar, naluriah, atau mungkin insting penghayal, meski kau tahu aku tahu aku menunggu kosong. menunggu cerita-ceritamu tentangnya, hanya tentangnya, dan selalu tentangnya. Tapi mungkin aku bahagia untuk setiap ukiran parasmu, karena hanya itu yang kutunggu sejak dulu, sejak kau menemaniku mengayuh, menopang dipundakku meski (lagi) aku akan merindu sepoi-sepoi dan perih menyangga batin.

salam rindu,
sahabatmu, pengagummu, perindumu...
Read More

23 Oktober 2011

sajak tentang catatan yang cemburu

Aku hanya pengelana bego yang melangkah tanpa tujuan, merasa terasing antara Q sampai M, terperangkap dalam imaji-imaji pelik, menjadi buta saat waktu mengajariku membaca raut mawar, tersesat dalam kilau malam, dan terhampakan oleh setiap koma yang berakhirdengan tiga titik…
Aku adalah penghayal yang buruk. Selalu terlalu tinggi memetakan imajinasi pembentuk warna hijau yang nyatanya adalah sederhana, menguraikan setiap senyumnya adalah untukku, dan memaknai inspirasi sebagai sebuah obsesi. Dan karenanya aku tak bisa menyembunyikan sekotak lirikanku, pikiranku, atau bahkan hatiku dari akal sehat yang tersisa.
aku membodohi diri dalam tulisanku, mencemburui tinta kering, dan mendecaki lembar perkamen dengan kisah-kisah fiktif di atasnya. ya, sedikit keluguan pasif yang hanya bisa berakhir dalam sajak-sajak tak berirama, dan entah hingga kapan ada dalam keterasingan yang muram, buram, tanpa temaram....
aku bodoh dalam kegilaanku padanya. jika ia berbicara, aku akan mendengar suaranya membait. jika ia menikmati malam, aku takkan ragu menjadi tumbal bintang-bintang demi menyapanya, menjadi gila bersama ragaku, tanpa jiwaku.

dari (si)apa kah hijau bermula??
mungkin aku bimbang akan wujudnya...
Read More

18 Oktober 2011

“ASSALAMU’ALAIKUM,” salam seorang lelaki berseragam rapi dengan suaranya yang terdengar berat sembari mengetuk pelan daun pintu kayu yang tampak reyot, wajahnya terlihat setengah letih namun tetap berdiri tegak diatas kedua kakinya. Samar ia mendengar suara batuk-batuk satu dua dari dalam rumah diikuti suara langkah kaki mendekat.

“Walaikumsalam, siapa?” Tanya suara letih seorang wanita sesaat setelah batuknya mulai mereda namun tak lama ia mulai terbatuk lagi.

“Pos, ada surat untuk Ibu Rubiyah,” jawab tukang pos itu dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita paruh baya di depannya. Ia tampak lemah, pucat dan mata merahnya sayu. Keriput di ujung mata dan di pipinya terlihat jelas bagai lekukan-lekukan ngarai kering di musim kemarau, terlalu kering hingga tukang pos menduga wanita itu tak pernah merasakan kebahagiaan yang nyata selama beberapa bulan lamanya. Bahkan ia menduga umur wanita itu mungkin tidak lebih tua dari kelihatannya. Diamatinya batik lusuh yang digunakan wanita itu dengan sarung pada bawahannya mulai pudar bernoda cokelat pada bagian dada yang ditebaknya sebagai noda darah yang sudah lama. Ada beberapa noda sama yang lebih kecil di bagian lengan dan bahunya dan segala hal mernada muram itu sejenak membuatnya merasa iba.

“Saya Rubiyah,” aku wanita itu. Diambilnya sepucuk amplop putih yang diperlihatkan tukang pos yang kemudian berpamitan. Ucapan terima kasih Bu Rubiyah mengakhiri pertemuan depan pintu membuat tukang berbalik pergi, berbalik sejenak saat langkahnya menjauhi desa dan berlalu membawa sedikit rasa suram yang kelabu dibelakangnya. Saat menyerahkan beratnya pada seonggok kursi kayu di ruang tamu, Rubiyah mulai merobek bagian atas amplop itu setelah membaca nama pengirim yang memang sejak lama diharapkannya. Air matanya tengah menggantung saat ia mulai membaca.

Read More

Jangan menyerah pada ilalang yang tertidur bersama asa hingga petang berakhir


Jangan berhenti mencariku di tengah ilalang.
ketika bunga-bunganya
menemukanku dalam tiada
dan semerbak merasuk merengkuh makna.

karena jika kau tahu, tak satu bintang jatuh pun
yang kita pandangi di padang itu memberi harapan kosong.
Tak hanya kekesalan yang digenangkan hujan
untuk meredam hari di sore aku memetakan wajahmu
bersama lembar usangnya perkamen kuning.

Jangan berhenti mencumbuku dalam tidurmu.
saat pagi tak mungkin kembali dan malam tak pasti menjelang
hingga kita terjebak dalam tidur siang yang menjemukan.

sebab seandainya kau mengerti
aku akan menunggumu mengarungi palung mimpi
di atas sampan tua berselimut kehangatan lelap.
menyaksikan peri gigi mengendap-endap
menyusup di bawah bantal anak-anak kita.

Jangan lelah mengejarku dalam asamu.
bilamana mentari yang perlahan membakar awan
larut bersamaku pada samudera.

Agar kau pahami bahwa hidupmu lebih manis
daripada butir gula yang larut dalam secangkir teh hangat
yang kita teguk bergantian untuk petang itu.

lagi-lagi petang itu. satu petang sebelum aku merindu.
percaya lah, aku tersenyum untukmu
ketika kau telah mendapatiku,
saat kau tengah mengecupku,
bilamana kau sudah menangkapku.

Demi kau, aku percaya kau percaya padaku.
Ya, kau adalah aku.
Read More

01 Oktober 2011

nyanyian angin

Telah kusaksikan tumpuk-tumpuk angin, berkejaran brsama pemburu mungil angin.

Petang pun menyambut angin, kala malam tak jadi malam tanpa angin.

Tak pelak ibu-ibu angin tersenyum, sementara anak-anak angin tersadar dari permainan gundu.

Aku pun merasakan percik-percik angin membanjiri keningku, merasakan titik-titik angin membasahi acak rambutku.

Tak jarang angin-angin gila meracau.
Membenturkan jidat dan dagu angin di stiap sudut rumah.

Namun takkan mudah menangkap kupu-kupu angin yang akan hinggap di bunga-bunga angin.

Karena angin adalah nyata yang tak bertebak. Ia hanya lah angin. Hanya menghembus.
Read More

untittled tale

matanya sayu menancap
memasung dalam tatap
lelah menari di dapur pengap
langkahnya pun tak lagi mantap

kulitnya kian mengendur
kerut tiada terelakkan
ngarai-ngarai kering kian terukir diantaranya
saksi waktu yang dilalui dalam kelabu
bibirnya pun hanya menyangga erangan

tapi adakah kau melihatnya?
menyadari bahwa setiap waktu
yang ia buang itu hanya untukmu?

mungkin kau tahu,
mungkin kau belum mau,
atau mungkin kau sudah membatu,
ingatlah dia satu...
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.