Entah kenapa aku selalu teringat dengannya. Setiap kali kuhadapkan wajahku ke jendela ia selalu ada melambaikan tangannya melalui dahan-dahan yang rapuh meyapa sosok dengan kepedihan dalam hati yang sedang menulis. Seakan berkata lewat sayupnya untuk selalu mengingat dia. Aku pun bertanya pada biru, karna hanya dia yang mampu melihat yang tak mampu ku lihat, apa yang dia lakukan di di seberang sana. Tidakkah tampak bayanganku dimatanya meski sesaat? Atau kalau bisa, terbangkan aku kesana. Dimana semua hamparan bunga pengantar tidur selalu membawaku. Dimana semua bayangan tentang angin dan segala kesakralan yang dia miliki selalu bermain dengan riangnya..
Tapi aku tak mau.. sepertinya dia yang sepoi tak kunjung sudi meneriakkan salam. Tidak dengan hatinya. Tidak dengan matanya. Hanya lewat jari. Jari-jari yang hanya sekali ku sentuh dengan tanganku selama ini. Siapa yang tau dia sedang berhembus kemana. Tapi, angin yang ini selalu menemaniku, selalu, setiap saat, setiap detik, setiap kulantunkan nada sumbang yang tak pernah dipedulikan orang.
Aku telah memutuskan untuk mengambil sang biru sebagai sahabatku, bukan angin. Tapi tidak sekarang. Nanti. Kata yang tak ku tau kepastiannya untuk datang, atau mungkin tak akan pernah datang atau datang disaat aku tak lagi mampu merasakan belaian angin yang selalu mengacak tiap helai rambutku.
Sekali lagi dia menyapaku dari balik jendela dan hilang dalam keheningan siang.
0 comment:
Posting Komentar