13 September 2011

Pesan Singkat Dari Bulanku Untuk Bulan Separo

“rinnggg…riinggg…riinggg, beli..beliii…dua seringgit,” celetuk Mail dalam film Upin dan Ipin dari balik bantalku. Seperti halnya orang lain yang terlihat menggerutu saat dibangunkan oleh dering handphone di tengah malam buta, dengan mata yang terasa masih saling berkait diantara bulu-bulunya, aku mencoba meraba-raba suara yang menjalar naik ke telingaku. Mencoba menebak-nebak, dari siapa gerangan bunyi sms (karena ringtonenya itu ringtone sms), seberapa pentingkah smsnya, dan seberapa besar kah ia menaruh harapan padaku untuk membalasnya. Dengan sedikit memicingkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba, setelah kugapai, kubaca pesan singkat yang ternyata dari orang yang terkasihku, isinya mencoba mensugestiku untuk menatap ke luar jendela, menatap cahaya bulan. Sedikit berat memang, tapi dengan rasa sayang yang sama sepertiku, siapa pun pasti akan bersedia untuk sedikit terjaga dari tidur, meski hanya sekedar memanjangkan lehernya kea rah jendela, sekedar member rasa puas kepada kedua belah pihak.

Read More

04 September 2011

kau

siang tengah tertidur
kau pun tak ingin kalah lelap dari siang
dan saat hangat membangunkan mimpi perlahan
kau membuka matamu
kau mulai bersajak dibawah beringin

saat sore kembali kau bertanya padaku
"kemana saja kau siang ini? sajakku mencarimu
bermerdu bersama dalam ilalang"

kau tak tahu saja, aku di atas dahan sepanjang siang
menantikan hangat siang perlahan membuka matamu.

kau mungkin juga takkan tahu,
aku akan tertidur bersama sajakmu dibawah beringin
selamanya dibawah beringin..
Read More

pernahkah kau benar-benar bertanya?

aku masih bertanya-tanya, pernahkah kau mencoba untuk bertanya akan diriku yang tak jua menanyaimu saat kita punya waktu menghabiskan bahkan dua cangkir kopi setiap sabtu malam dalam keremangan lilin yang manja menari liar diantara belaian sepoi dinginnya angin yang bertemankan kabut yang membuatmu sedikit meringis sembari mengelus-elus sisi lenganmu? Yah, aku menunggumu dalam debar saat setiap kata yang kau lontarkan akan berakhir dengan nada tanya dengan lirik yang sangat ingin aku dengar. Mungkin memang agak terburu-buru hingga kau belum menangkap tiap ocehanku yang harusnya bisa bersatu di kepalamu untuk membentuk satu saja pertanyaan yang bisa kau bingkiskan padaku. Atau mungkin aku perlu mengingatkanmu saat kita
Read More

pohon ek

Bagaimana harus kukungkapkan, sebuah kalimat yang tak pernah tersentuh ujung lidahku. aku tak cukup tenang setiap kali tanganmu mengacung seakan memanggil langkah kakiku. tak pelak jalan setapak tercipta saat aku mendekatimu, mengharuskan aku mengacuhkan imajinasi bunga-bunga yang melambai berharap tampak indah di ekor mata.

"apa kabar?", tanyamu,
Seolah sudah dua musim kita mencari arah untuk kembali beriringan karena masa dan kembali searah karena waktu. aku begitu membeku sejenak sehingga teori Quantum seakan tidak berlaku seketika matamu sekilas membentur celah-celah pupilku, berharap itu akan menghasilkan percikan rasa yang selaras dengan kebisuan batin.

Kau pun bertanya, " bisakah kita tetap bersama seperti ini?"
Kau membuatku terdiam. Aku pun ingin tetap menjaga detak waktu agar tak beranjak menjauhi dan menjauhkan kita, lebih dari hasrat titik-titik embun mencapai ketinggian awan hitam lalu akhirnya ikut menghujam bersama hujan. namun, bagaimana harus kuungkapkan, ketika tujuanku lebih dekat dibanding kau yang duduk disisiku, memandangi sepatumu menari menggantung. bagaimana harus kusampaikan rasa takutku bila kau tak akan bertanya tentang kabarku lagi. bagaimana harus kujelaskan pada diriku tentang apa yang harus kuungkapkan meski hanya sebatas bisikan dibalik gelombang mahkotamu. aku terlalu ragu untuk menjawab. aku bahkan kalah jika harus bertatapan denganmu. aku tahu kau tak akan memohon, tapi kau hanya menanti jawaban yang tak kau dan aku harapkan.

kau pun mulai menangis, mencari jawaban lain dibalik tiap tetesan air mata....
[bahkan saat hatimu mulai ikut berkaca-kaca, kau tetap memukau.] saat aku terbangun dari keterpakuanku pada keindahamu, aku berusaha menemukan celah untuk menenangkamu, menghentikan jatuhnya mutiaramu, membentuk anak sungai di pipimu. tak satu pun jawaban kutemukan dari balik tumpuk jerami kebimbangan.
kau akhirnya menemukan rahasia pertanyaanmu dan berbisik disela isakan, "aku menunggumu di bawah kerindangan ek tua"

============================================================

ketika hasrat memanggil kegundahan.
Read More

kekecewaan malam pada manusia

Parodi-parodi malam kini telah bisa membuat secangkir kopi kehilangan rasanya. Kabut pun mencibir melihat pemandangan itu, meyadari dirinya tak berarti lagi disekeliling kotak temaram yang biasa mereka tumpangi. segala keindahan kegelapan pun menjadi terabaikan oleh ke"bego"an manusia. Untung saja tak ada tangisan perih hujan, mungkin ia sedang tak disini. mungkin ia terlalu sibuk meratapi kepergiannya dari kota untuk pindah ke kota lain. aku pun tak memungkiri betapa seringnya kau diperdaya keelokan tubuh dan kilau parasnya. indah.....

betapa mudahnya mereka, bukan.bukan... kami, melupakan waktu. Padahal sempat girus-girus otakku mencekik, berbisik kalau waktu itu adalah Tuhanku. Ia abadi, bahkan dalam waktu yang terhenti, akan tetap ada waktu yang berjalan, waktu disaat waktu itu berhenti. Tidak mengintimidasi, namun memberi pilihan ke detik yang mana kita akan melangkah.

Aku sedih pada species-ku sendiri yang berusaha mengaduk kopi yang kehilangan rasanya setelah manis sesaat dan mencari ambang batas tawar dengan pH yang benar-benar netral. Bulir-bulir bijihnya kelihatan memainkan orkestra perkusi memelas dan mengikis hitamnya dunia, menggelitik gelapnya cahaya hingga akhirnya benar-benar menghilang dan larut dalam adukan sendok penjelajah waktu. kami mulai gamang, berpacu bersama semu dan celoteh anak-anak kami. entah ini memang takdir dair sang Waktu, atau memang kesia-siaan yang menggerogoti penghujung rindu akan kasih-Nya.

sluuurpp....nikmatnya kopi tanpa rasa ditambah sedikit roti keangkuhan....
Read More

Pandangan Pertama (sebuah epic)

Kala itu aku masih sepolos tembok samping rumahku. Semuanya terjadi begitu kilas, tanpa sempat aku menduganya. Berawal saat kukendarai sepeda motorku menuju tempat les. Tanpa helm rasanya ringan. Angin membelai kasar rambutku yang memang tak kalah pajang dengan sapu ijuk yang biasa kupakai menyapu teras.

Di situ lah aku bertemu dia. Ia berdiri di sudut jalan saat aku berhenti untuk memohon pada sesosok tiang agar mau menyalakan lampu hijaunya. Tak cukup beberapa detik untuk menyadari bahwa ia sedang menatapku. Aku bergetar membalas tatapannya. Jantungku berdenyut tak beraturan, dapat kurasakan denyut takikardi yang aritmia dibalik kaos oblongku. “ASTAGA” pikirku dalam hati. Rambutnya pendek, kulitnya hitam manis, walau tak semanis sawo matang. Tepat saat itu juga seluruh tubuhku mati rasa, tak bisa digerakkan, atau lebih tepatnya tak tahu harus berbuat apa.

Otakku berputar, hatiku jatuh, segala macam abnormalitas terjadi pada setiap senti bagian tubuhku. Namun bagai menekan sebuah tombol off pada remote TV atau saklar lampu, semuanya kembali, aku sudah telat. Aku tersadar dari keterpakuanku hanya karena menatapnya, sungguh menakjubkan. Kini ia mendekat. Kusadari kini setiap pasang mata dalam jarak 100 m darinya, baik lelaki ataupun wanita tertuju padanya. Ia sudah berdiri di hadapan kendaraan roda duaku sebelum aku sempat menancap gas motorku untuk segera melupakannya. “Si…si….siang”, sapaku dengan gugup sambil mencari nada yang pas, takuk kalau-kalau ia tidak suka dengan suaraku. Ia terdiam, kemudian sedikit tersenyum. Hatiku jatuh lagi. Ia menjawab perlahan “siang, bisa saya lihat SIM dan STNK-nya dek’???” sambil hormat. Aku nyengir g jelas, “ he… g bawa pak…” jadi lah aku ditilang, dan tak jadi lah aku les…. Apeeeesss…..
Read More

langit siang yang tanpa angin

Entah kenapa aku selalu teringat dengannya. Setiap kali kuhadapkan wajahku ke jendela ia selalu ada melambaikan tangannya melalui dahan-dahan yang rapuh meyapa sosok dengan kepedihan dalam hati yang sedang menulis. Seakan berkata lewat sayupnya untuk selalu mengingat dia. Aku pun bertanya pada biru, karna hanya dia yang mampu melihat yang tak mampu ku lihat, apa yang dia lakukan di di seberang sana. Tidakkah tampak bayanganku dimatanya meski sesaat? Atau kalau bisa, terbangkan aku kesana. Dimana semua hamparan bunga pengantar tidur selalu membawaku. Dimana semua bayangan tentang angin dan segala kesakralan yang dia miliki selalu bermain dengan riangnya..
Tapi aku tak mau.. sepertinya dia yang sepoi tak kunjung sudi meneriakkan salam. Tidak dengan hatinya. Tidak dengan matanya. Hanya lewat jari. Jari-jari yang hanya sekali ku sentuh dengan tanganku selama ini. Siapa yang tau dia sedang berhembus kemana. Tapi, angin yang ini selalu menemaniku, selalu, setiap saat, setiap detik, setiap kulantunkan nada sumbang yang tak pernah dipedulikan orang.

Aku telah memutuskan untuk mengambil sang biru sebagai sahabatku, bukan angin. Tapi tidak sekarang. Nanti. Kata yang tak ku tau kepastiannya untuk datang, atau mungkin tak akan pernah datang atau datang disaat aku tak lagi mampu merasakan belaian angin yang selalu mengacak tiap helai rambutku.

Sekali lagi dia menyapaku dari balik jendela dan hilang dalam keheningan siang.
Read More

1st

Aku memutuskan menghapus blog yang lama. ia sudah terlalu lama tertidur, dan aku terlalu jenuh untuk membangunkannya. jadi aku terpikir untuk hal yang sulit.Euthanasia...
farewell blog lama.

wellcome, blog baru. mari kita mulai lagi dari awal. kali ini semoga kita tidak "koma" bersama.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.