31 Januari 2012

siklus penugguan

Sekali setahun, dibulan Januari, aku akan duduk di kaki lembayung. menyaksikan alang-alang yang tegar menantang alam bertanya untuk kesempatan bertegur sapa lagi dengan jemari mungilmu. mereka rindu pada gadis yang dulu berkejaran bersama angin menangkap kelopak bunga atau kupu-kupu nakal. kubilang pada mereka, kau sedang menyulam malam agar padang berhenti kedinginan jika gelap menguap. tapi kubilang pada aku, aku rindu saat kau kelelahan mengitari alang-alang lalu menghampiriku, terduduk menatap lembayung sambil mengulum senyum.

sekali setahun, dibulan Maret, aku akan berusaha tak lelah menanti ucapanmu yang tak pernah datang. mengingat-ingat lagi kata-kata lembutmu sesaat setelah malam menggulirkan hari. jika harus jujur, tahun lalu menjadi kalimat indah terakhirmu untukku. lalu kau mengambil waktu untuk berkelana bersama bulan itu.

sekali setahun dibulan Juni, ada sebuah hari dimana aku harus mengakui bahwa akan ada jarak dalam setiap kedekatan, selalu ada akhir dari semua hari yang kita sebut mula, dan pasti ada jalan untuk perpisahan dalam segala jenis perjumpaan. kau tak mengucap sekata. aku tak mengucap sekata. sebuah perpisahan yang tak pantas disebut perpisahan, karena yang kita lakukan berada dalam jaring-jaring pengabaian selama bulan-bulan berikutnya. bulan Juni, kau berubah. mengambil jarak selangkah setiap harinya, hingga tak mampu kuhitung depa demi depa.

sekali setahun dibulan November, pertengahan musim dingin, aku memikirkanmu. mencari kata yang tepat untuk menghilangkan kecanggungan. mungkin, ketika badai mulai reda, kita bisa menghabiskan waktu saling menghangatkan jemari kita, setelah sekian lama. tapi aku urung. kenapa? karena "mungkin" adalah tentang ketidakpastian yang selalu terbenam dalam dua sisi yang berlawanan. bagai pisau bermata dua. jadi kubiarkan saja jalan jalan sepi dengan lamunannya.

Pict from here


Setiap tahun dibulan Desember, aku akan hilang akal.
Read More

13 Januari 2012

Kenangan

Kay, kau ingat, saat kau ngambek sore-sore di beranda sambil memandangi layang-layang api yang berkejaran di udara. kau diam. lamaaa sekali. dan ketika para layang-layang api itu lelah, kau bilang, "maaf atas air mukaku. aku jutek ya?" aku hanya menggeleng sambil tersenyum. hampir saja aku meleleh dari beranda. kau tahu, saat itu aku sadar, Kay, aku menyukai pipimu yang cembung, suaramu yang ranum. aku menyukaimu.


masih kukenang jawabanmu saat aku mencoba menyatakan kesadaran hatiku. "Sebaiknya jangan, Khira. Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Aku telah tertambat di hati yang lain." Aku sudah menduga, hingga setelahnya tak ada gunung yang runtuh atau gemuruh petir dengan angin badai. aku tak pernah ragu pada kebenaaran pepatah sepatah cinta dan kepemilikannya, Kayla. aku tahu keniscayaan rasa sakit yang salah mengartikan kau sebagai bahasa kalbu. kasih.



Kay, kau tahu lagi, semenjak masa itu, secara idiopatik*, aku makin menyukaimu. maka maafkanlah aku yang akan selalu menghantuimu...

*unknown
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.