12 April 2015

Bagaimana Seekor Katak Menemukan Keberanian dan Keluar dari Tempurungnya

“No man ever steps the same river twice, for it’s not the same river and he’s not the same man.” ~ Heraclitus, Filsuf.

Jalan Panjang Menuju Puncak Kelimutu

Dunia itu luas, meski orang-orang asing yang ditakdirkan bertemu lebih dari sekali sering mengatakan sebaliknya. Ada begitu banyak perihal yang tidak kita ketahui meski orang-orang picik tidak berpikir demikian.

Dengan dua kalimat itu, saya kemudian memutuskan untuk bertualang dan menuliskan kisah lain dalam hidup saya untuk diri saya sendiri yang di masa depan. Saya ingin mengingatkan diri saya yang nanti tentang perihal-perihal baik yang mungkin terjadi dalam perjalanan ini, agar setiap kali menerima kesedihan ia akan percaya selalu ada lebih banyak kebahagiaan dalam dunia ini. Saya tak perlu terlalu kuatir tentang kesedihan yang ada dalam tualang itu atau bagaimana perjalanan itu akan berlangsung. Saya hanya perlu tahu bahwa ujung jalan itu akan mengubah diri saya menjadi seseorang yang lain (dan semoga lebih baik).

Saya sendiri bersama beberapa teman, pada suatu pertemuan akhirnya sepakat berpetualang dengan cara backpacking. Menenteng keril lalu menantang alam, menapak jejak sembari menepuk dompet, mengecup tempat-tempat baru dan mengecap pengalaman baru. Melakukan perjalanan dengan cara backpacking adalah kegiatan yang tidak asing lagi di zaman sekarang. Orang-orang bisa melakukan tualang ke mana pun dan kapan pun mereka inginkan –dengan batasan-batasan tertentu– tanpa perlu mengeluarkan banyak uang. Setiap orang-orang itu tentu saja mempunyai alasan yang dan pandangan yang berbeda mengenai langkah-langkah menuju ‘kehidupan lain’ yang mereka lakukan. Ada yang melakukannya karena kesenangan semata, refreshing, lari dari ‘kenyataan’, ilmu pengetahuan, perjalanan religi, gaya hidup, hobby, atau juga gabungan dari perihal tersebut.

Mungkin tidak jauh berbeda dengan mereka yang telah menempuh kembara sebelumnya. Hanya saja, dalam perjalanan kami ada sesuatu yang mungkin tak setiap perjalanan memilikinya. Jika pada umumnya orang mengunjungi malaysia atau singapura atau luar negeri lebih jauh yang menggiurkan mata untuk backpacking, kami lebih memilih Nusa Tenggara sebagai tujuan. Selain karena kami punya beberapa kenalan di beberapa bagian tempat,  ada sejumlah alasan filosofis mengapa kami memilih NusaTenggara.

Pertama, sebagai orang Indonesia yang meskipun hidup di bagian tengah – saya dari Makassar – tetapi saya bersama teman-teman perlu melihat sendiri bagaimana kehidupan saudara setanah air kita di bagian timur. Kami ingin membuktikan bagaimana tindakan pemerintah kita terhadap kesenjangan pembangunan negara. Terdengar seperti pejabat yang blusukan? Tidak. Saya sama sekali tak tertarik tentang politik. Yang ingin saya bersama teman-teman munculkan pada diri kami sendiri adalah rasa peka dan kepedulian sosial yang diperlukan sebagai dokter sehingga perjalanan ini bukan jalan-jalan biasa. Maka hanya dengan cara backpacking-lah saya bersama teman-teman bisa berkomunikasi lebih dekat dengan masyarakat.

Kedua, dalam penjelajahan Nusa Tenggara ini kami ingin melintasi perbatasan Timor Leste setelah melihat bagaimana orang-orang  di sana mempertahankan jiwa nasionalisme mereka. Kata teman seperjalanan saya, “Nasionalisme itu tidak hanya dipelajari di bangku-bangku sekolah, tetapi perlu dengan pengalaman nyata.”

Tinggal di perbatasan mungkin bisa dianalogikan dengan kebimbangan hidup seseorang terhadap agama – meski tidak sakral tentunya. Namun kemampuan seseorang untuk mempertahankan hidup yang layak tentu bisa mempengaruhi jiwa nasionalisme. Inilah hal yang sebenarnya perlu diperhatikan pemerintah terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah perbatasan.

Lalu ketika menjadi wisatawan asing di Timor Leste (yay! akhirnya ke luar negeri juga) kami ingin mencoba melihat bagaimana negara kecil ini membangun dirinya setelah kemerdekaan. Bagaimana sejarah dituturkan dari mulut-mulut orang lokal. Karena ingin jalan-jalan, tentu kami mempertanyakan bagaimana tempat wisatanya.

Ketiga, kami percaya bahwa eksotisme Nusa Tenggara tak kalah indah dibanding tempat wisata di daerah lain atau di negara lain. Indonesia punya banyak tempat yang perlu dijelajahi dan dikuak keindahannya untuk diperkenalkan dengan lebih layak ke wajah dunia, terutama di Nusa tenggara ini.
Keempat, latar kami yang bergelut di dunia kesehatan sebagai dokter semakin membuat perjalanan ini bukan ekspedisi biasa. Di perbatasan, seorang dokter TNI yang satu almamater dengan kami mengajak untuk melakukan bakti sosial berupa pengobatan dan sunatan massal. Maka lengkap sudah tualang kami. Ada manfaat timbal balik yang kami dan masyarakat sekitar dapatkan. Setidaknya perjalanan ini buka langkah yang sia-sia.

Agama di wilayah Nusa Tenggara Timur mayoritas kristiani (katolik). Kami datang kebetulan bertepatan dengan hari-hari paskah. Saya melihat orang-orang di tempat ini begitu religiuis beribadah ke gereja dan pada sebagian besar wilayah, amat sulit mendapatkan masjid. Tanpa saya sadari tantangan terbesar saya dalam perjalanan ini sebagai umat muslim, adalah bagimana menjaga keistiqomahan saya beribadah dengan tak adanya masjid dan air serta godaan pikiran sendiri. Ini tanpa secara kebetulan menjadi alasan kelima mengapa perjalanan ini menjadi menarik. Di tempat yang jauh dari rumahNya, saya merasa sangat menikmati perjuangan sebagai hamba yang (berusaha) taat. :’)

Seperti katak dalam tempurung yang baru menemukan keberaniannya dan melompat keluar untuk melihat dunia, sudah beberapa kali saya bersama teman-teman merencanakan perjalanan, namun baru kali ini kami menemukan kesempatan dan keberanian untuk keluar dari  balik meja kerja. Kami tahu perjalanan ini tak bisa selalu baik-baik saja, dan kami harus menyiapkan keberanian untuk itu. Pada akhirnya apa yang kita lakukan akan membentuk diri kita sendiri di masa depan, dan saya melakukan perjalanan ini dengan harapan dapat memperbaiki cara pandang saya tentang cara kerja dunia dan menambah sudut pandang saya tentang kehidupan.

Orang bijak selalu berkata, “bukan tujuan yang penting, tetapi perjalanannya.” Dan saya sepenuhnya sepakat, walaupun bagi saya, tujuan yang sesungguhnya dari petualangan adalah perjalanan itu sendiri. ~ Falra

PS: Detik dan detil petualangan akan saya bagikan di postongan berikutnya.
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.