25 Maret 2013

tentang rumah, kata-kata dan kesalahan.

katakan pada tanaman, bagaimana ia memakan pagar / sementara akar-akarnya hanya mengais tanah / tanyakan pada awan bagaimana angin membawanya menghalau bulan / sementara malam yang leluasa menggelapkan bumi. jelaskan pada masa, bagaimana ia menyatakan kebenaran / sementara kebenaran dirajut dari benang-benang kesalahan...


pict from here


dear farah,

kamu pasti tahu kekaguman itu sederhana. kita tidak perlu bertanya terlalu lama pada isi kepala hanya untuk mengagumi sesuatu. toh, kekaguman tidak butuh dimengerti. bahkan pada kenyataannya kekaguman hanya butuk dikagumi. dipesonakan. begitu saja.

maka harus aku katakan, aku terpesona dengan rumahmu. ada banyak kata di berandanya yang tergantung berjejer dengan pita-pita orange. kata-kata itu kemudian berdentang merdu setiap kali ada angin yang berhembus. lalu anak-anak kecil di dalam rumahmu akan mulai berlari ke beranda, kemudian menari, lalu menirukan bunyi kata-kata yang saling membentur di langit-langit berandamu. kamu sepertinya suka anak-anak. aku bisa melihat itu. akhir-akhir ini ada seorang gadis kecil di sana, di berandamu. menatap keluar dengan pandangan yang lucu. ah, anak-anak. mereka selalu lebih menggemaskan saat berdekatan dengan bunga. ah! ya, ada bunga tulip merah di sana, di halaman rumahmu. merambat sepanjang halaman sampai ke pagar. baru kali itu aku melihat tulip yang merambat. benar. harus kuakui, aku suka melintas di sana, di depan rumahmu.

bagaimana aku bisa tahu rumahmu? aku juga lupa tepatnya. aku sudah lupa kapan dan bagaimana awalnya aku bisa melintas di sana, di depan rumahmu. aku punya masalah kecil dengan waktu dan tempat. aku sedikit lebih bisa mengingat peristiwa. bukankah manusia memang begitu. selalu lebih sulit mengingat waktu daripada peristiwa. mungkin karena kita memang lebih memilih peristiwa sebagai hal yang lebih layak untuk diingat daripada waktu kejadiannya. jadi saya hanya mengingat waktu itu ada beberapa kata yang tercecer di jalanan seperti remah-remah roti yang minta untuk diikuti. maka aku mengikutinya, sampai ke sana, rumahmu.

jadilah ketika itu sebagai perjalanan awalku ke rumahmu. aku ingat hari itu hujan, tapi aku masih bisa melihatmu berjinjit di atas kursi. menggantungkan kata-kata yang baru di langit-langit berandamu. aku tak pernah berhenti heran, mengapa langit-langit itu tak pernah kehabisan tempat untuk kata-katamu. atau kenapa rumahmu tak pernah kehabisan kata-kata. hari itu hujan, tapi aku bisa merasakan kehangatan menguap di dalam sana. kamu tahu, perjalanan sederhana itu esok harinya berubah menjadi petualangan yang mendebarkan. lalu petualangan itu, fa, adalah petualangan yang rela untuk saya ulang kembali.

fa,
kita mungkin sama-sama tahu kata-kata bisa menjadi begitu candu. aku tak pernah kecanduan sesuatu yang lebih nikmat dari kata-kata, meski terkadang ia bisa menjadi begitu masam, bahkan getir. jadi kemudian hari aku kembali melintasi rumahmu saat pagi. pelan-pelan aku mengikutimu. berharap kata-kata yang kamu bawa bisa terbaca lebih jelas daripada dipandangi dari luar pagar saat kamu menggantungnya. tapi melihat tak pernah sejelas merasakan. maka pada lintasanku berikutnya aku membawa pena dan dan secarik kertas. aku mencoba menuliskan senyum dan beberapa huruf sapaan lalu ku genggam menjadi bola-bola kertas yang belakangan kusebut sebagai bola-bola senyum. begitulah bola-bola senyum itu sampai ke halaman rumahmu.

tapi berteman dengan tekstuk kata-kata orang lain mungkin memang tidak pernah semudah itu. mungkin bola kertas terlalu sering mengambang di halamanmu sehingga bola senyumku terlihat seperti sampah-sampah yang tak berbeda dengan yang lain.  lalu kamu mungkin mulai berpikir "ah, ini pasti kerjaan pejalan kaki didepan rumah."

fa,
hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, aku melintas rumahmu lagi. ada seorang gadis kecil di sana berdiri sambil memegang kepalanya. matanya menatap keluar pagar entah melihat apa. mungkin menatap jalanan. tapi tidak kutemukan jalanan di sana. kamu telah membuat pagar agar aku tidak bisa berhenti sejenak untuk melihat kata-katamu lagi. ah, sekarang kutemukan sesuatu yang bisa lebih getir daripada kata-kata. penolakan.

tidak, fa. bukan karena penolakanmu yang membuatku menulis surat ini. penolakan hanyalah semacam kekalahan-taruhan terhadap kekagumanku pada kata-katamu. semacam petualangan yang selesai dengan biasa-biasa saja. tak ada yang perlu dituntut. tak ada yang perlu disesali. ini tentang kesalahanku.

lebih dari separuh hari  setelah penolakan itu aku memikirkan kesalahanku. mencari salinan kata-kataku padamu yang mengandung duri atau belati. pikiranku melayang diantara dua pertanyaan "apa salahku?" dan "bagaimana aku meminta maaf?" yang tak kutemukan jawabannya. hingga pada akhirnya aku menyadari bahwa satu-satunya kesalahanku adalah mengganggumu dengan mengikutimu. mungkin begitu menurutmu.

bukan (lagi). aku bukan mencari kesalahanku untuk menuntut kekalahan terhadap apa yang sudah aku pertaruhkan. aku hanya ingin tahu fa. supaya apa yang salah kulakukan padamu tidak akan kulakukan pada kekagumanku yang lain. supaya aku tidak melakukan kesalahan yang sama di depan rumah orang lain.

"How do i know who I am, if I don't know who I was?" ~ Jack Frost~


kupikir, senyum itu seperti virus. selalu menular sampai seseorang berhenti tersenyum. maka ketika dulu aku menuliskan senyuman padamu, kupikir kamu juga akan menggantungkan senyuman di langit-langit berandamu.

fa,
surat ini bukan untuk meminta kamu mengembalikan jalanan di depan rumahmu. sudah kutanyakan pada diriku apa tentang apa yang aku inginkan. aku mungkin telah menemuka kesalahanku, maka, jika saja kamu membaca surat ini, aku hamya ingin kamu tahu kalau aku meminta maaf, maka pertanyaan keduaku telah terjawab. ya, ini hanya ungkapan maaf tanpa penyesalan. karena saya percaya, kesalahan bukan untuk disesali, tapi untuk tidak dilakukan lagi.


meski pada kenyataannya tidak semua hal bisa disembuhkan dengan maaf, mendapatkan maaf itu melegakan. bahkan jika tak ada hal yang perlu dimaafkan. karena kau tahu, merasa bersalah itu menggelisahkan. --- falra


dengan segala senyum dan maaf.
regards


falra.


PS: :)
PPS: semoga kamu membacanya. dan semuga kamu mengerti.
PPPS: kalau nggak ngerti juga nggak papa.
PPPPS: kalau dibaca mohon tinggalkan kom
Read More

23 Maret 2013

perihal kematian, penyesalan dan kenangan

pict. from here
beberapa hari yang lalu saya terpaksa harus melihat kematian lagi. saya mulai sadar tak bisa lagi menghitung jumlah kematian yang saya lihat sejak menjadi mahasiswa klinik fakultas kedokteran. melihat sesuatu yang awalnya terasa begitu mengerikan berulang kali akan membuatmu terbiasa. begitu juga dengan kematian, (jujur itu bukan suatu hal yang patut untuk dibanggakan). tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah. selalu ada kesedihan yang memilukan. salah satu yang paling memilukan. seberapa pun seringnya melihat kematian, bagi orang yang masih memiliki nurani - bahkan jika kamu buka keluarganya -, selalu ada kepedihan didalam urangan itu yang ikut menangis dan memeluk para sanak yang ditinggalkan satu persatu.

siapa yang bisa menolak kematian? siapa yang siap menerima kematian? pertanyaan itu yang sering kali terbesit di benak saya setiap kali harus dengan terpaksa mengatakan perihal kematian pasien pada keluarganya. pertanyaan yang sebenarnya saya tanyakan pada diri saya sendiri. bagaimana jika suatu saat saya yang ada di tepi tempat tidur pasien, mencoba membacakan syahadat sambil sesekali terisak. siapkah saya? siapkah kita? karena suatu saat, siap ataupun tidak "ia" akan datang.

saya tidak sedang mencoba menakut-nakuti, atau sok menggurui. toh, kita memang sudah tahu perihal tentang kematian. saya hanya berpikir, saat waktu itu datang pada orang yang paling kita sayangi justru kita baru menemukan kenyataan bahwa itu adalah saat terakhir kita melihatnya, dan detik berikutnya beberapa dari kita akan menyadari betapa sedikitnya waktu yang kita luangkan untuk orang-orang yang tidak bisa kita lihat lagi senyumnya.

*

merasa terpisah itu sakit. bahkan meski hanya sebentar. keterpisahan yang lama justru awalnya akan membuatmu lupa. lalu lupa akan membuatmu abai. maka beruntunglah mereka yang tetap setia menjaga kenangan. karena bagi mereka yang telahdipisahkan oleh jarak dan waktu, bahkan dimensi, akan selalu hidup dalam kenangan.

ada banyak hal yang kita lupakan dari orang-orang kesanyangan kita yang telah meninggal. lucunya, kita baru mengingat-ingatnya setelah mereka pergi. saya juga begitu. saya selalu menyesal punya memori yang buruk. ketika saya berumur empat tahun, tante saya meninggal dan saya menyesal tidak punya cukup kenangan  tentang dirinya. saya bahkan sudah lupa wajahnya. yang paling saya ingat justru pada momen menjelang pemakamannya. saya masih ingat bagaimana nenek saya disela-sela tangisnya meminta saya untuk memijit-mijit kaki tante saya. katanya, tante saya sedang lelah. tak bisa berjalan. tiga tahun lalu, om saya juga meninggal. saya selalu lupa minta diajarkan karate. saya ingat rasa sakit saat ia memelintir tangan saya - tentunya hanya main-main - tapi saya selalu lupa cara ia melakukannya.

setahun kemudian kakek saya meninggal. dan saya bersyukur punya banyak kenangan tentang beliau. bagaimana tawanya, bagaimana kikuknya, bagaimana ia menuntun sepedanya ke masjid setiap kali adzan berkumandang, atau bagaimana ia selalu tersenyum. selalu. bahkan saat marah. mungkin saya masih mengingatnya karena ia pergi belum lama. yang saya sesalkan adalah saya sebagai mahluk yang agaknya mengerti kesehatan tidak peka untuk menyadari penyakitnya. dan itu adalah ironi paling menyakitkan dalam hidup saya. maka yang kemudian tertinggal di ingatan saya adalah tentang telpon bahwa kakek muntah darah. sepanjang hidup berikutnya saya berharap tidak melakukan kesalahan yang sama pada siapa pun.

terus mengenang itu tidak mudah. kita harus terus memutarnya berulang kali. seperti film. tapi kita tidak butuh VCD atau file video. yang kita butuhkan hanya benda kenangan. saya seringkali membayangkan bagaimana saya akan bercerita pada anak-anak saya tentang sosok buyut yang tidak pernah mereka kenal melalui sepedanya. saya membayangkan mereka akan bertanya "pa, kakek buyut itu seperti apa?" lalu saya akan mulai bercerita. pada saat yang bersamaan, saya bisa tetap menjaga kenangan saya tentang kakek saya.

*

siapa bilang "jangan menengok ke masa lalu" itu selalu benar? butuh keberanian dan ketegaran untuk mengingat masa lalu supaya tetap sadar darimana kita berasal dan kemana kita akan melangkah serta sudah sejauh mana perjalanan hidup kita. mengenang bukan suatu pekerjaan yang sia-sia. ada pelajaran di balik kenangan. lalu, dari kenangan seseorang bisa hidup lebih lama daripada umurnya. tapi lebih dari itu, karena kenangan, kita tetap bisa menjadi manusia. mahluk yang memiliki akal dan pikiran.

jadi seberapa banyak kenanganmu dengan ayahmu? dengan ibumu? dengan anakmu? dengan kekasihmu? karena saat mereka pergi tak ada lagi yang bisa menemanimu selain kenangan mereka. seberapa sering kamu menatap wajah mereka? karena suatu saat nanti ada masa dimana kamu akan lupa pada wajah mereka, pada senyum mereka, pada tawa mereka, kecuali kamu masih memiliki kenangan.

saya percaya, mereka yang mau mengenang adalah orang-orang yang menghargai masa lalu sebagai sesuatu yang masih layak untuk dipeluk.
~Falra
Read More
Diberdayakan oleh Blogger.