30 Oktober 2011

yang tersisa dari sepasang tua

original pict. from here
Karena kau terlampau renta untuk berjalan dan hari akan terlalu menyengat jika kuhabiskan sendiri tanpamu di padang teh maka aku hanya akan menemanimu duduk di halaman belakang rumah kita mempertanyakan hak milik kita yang masih tersisa. Menurutmu, apa yang tersisa dari kita selain rumah ini dan hasrat kasih untuk ditautkan hingga menjadi kebersalingan? Selain pundakku untuk kau sandari atau wangi rambutmu untuk aku baui? Selain rasa bahagia? selain rasa sayang? tidak ada, manis. Kita bahkan sudah tidak punya waktu untuk digelar untuk kemudian duduk diatasnya sambil saling memandangi senyum kita. Kau tahu kan, saat seperti itu, waktu hanya serupa gumpalan awan yang mengambang seolah tak punya daya untuk mengayuh periode. Ah, bagaimana aku tahu rupa awan? Aku selalu terlalu sibuk dengan senyumanmu.

 “Tenanglah sayang ,” jawabmu. “Bagiku, apa yang tersisa untukku kini lebih dari cukup. mengapa aku harus peduli pada apa yang aku miliki atau tidak aku miliki. Aku hanya akan selalu peduli pada apa yang aku butuhkan, dan itu adalah kau.”

Lalu aku sadar. Maafkan aku. Mungkin aku terlalu pesimis pada waktu. Mungkin aku terlalu cemburu padanya yang menungguimu. Menunggui kita.

Kau benar. Setidakknya sampai waktu benar-benar menjelma kekal, aku masih memilikimu.

2 comment:

Ayu Welirang mengatakan...

keren sekali iniii :') sepertinya saya mau coba buat prosa yang seperti ini..

Falra mengatakan...

:)
makasiih...

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.