18 Oktober 2011

“ASSALAMU’ALAIKUM,” salam seorang lelaki berseragam rapi dengan suaranya yang terdengar berat sembari mengetuk pelan daun pintu kayu yang tampak reyot, wajahnya terlihat setengah letih namun tetap berdiri tegak diatas kedua kakinya. Samar ia mendengar suara batuk-batuk satu dua dari dalam rumah diikuti suara langkah kaki mendekat.

“Walaikumsalam, siapa?” Tanya suara letih seorang wanita sesaat setelah batuknya mulai mereda namun tak lama ia mulai terbatuk lagi.

“Pos, ada surat untuk Ibu Rubiyah,” jawab tukang pos itu dengan pandangan yang tak lepas dari sosok wanita paruh baya di depannya. Ia tampak lemah, pucat dan mata merahnya sayu. Keriput di ujung mata dan di pipinya terlihat jelas bagai lekukan-lekukan ngarai kering di musim kemarau, terlalu kering hingga tukang pos menduga wanita itu tak pernah merasakan kebahagiaan yang nyata selama beberapa bulan lamanya. Bahkan ia menduga umur wanita itu mungkin tidak lebih tua dari kelihatannya. Diamatinya batik lusuh yang digunakan wanita itu dengan sarung pada bawahannya mulai pudar bernoda cokelat pada bagian dada yang ditebaknya sebagai noda darah yang sudah lama. Ada beberapa noda sama yang lebih kecil di bagian lengan dan bahunya dan segala hal mernada muram itu sejenak membuatnya merasa iba.

“Saya Rubiyah,” aku wanita itu. Diambilnya sepucuk amplop putih yang diperlihatkan tukang pos yang kemudian berpamitan. Ucapan terima kasih Bu Rubiyah mengakhiri pertemuan depan pintu membuat tukang berbalik pergi, berbalik sejenak saat langkahnya menjauhi desa dan berlalu membawa sedikit rasa suram yang kelabu dibelakangnya. Saat menyerahkan beratnya pada seonggok kursi kayu di ruang tamu, Rubiyah mulai merobek bagian atas amplop itu setelah membaca nama pengirim yang memang sejak lama diharapkannya. Air matanya tengah menggantung saat ia mulai membaca.



Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ibuku tersayang,

Entah darimana Inung akan memulai. Inung terlalu bahagia saat ini, saat dimana inung sudah mulai kerja, juga saat dimana inung punya kesempatan untuk menulis surat buat Ibu. Inung sekarang gampang sibuk bu. Terlalu sibuk untuk menulis selembar kabar yang bisa meredakan kekhawatiran ibu di desa, dan di antara bahagia Inung, inung mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kini Ibu tak perlu lagi menyimpan rasa cemas dan menggalinya lebih dalam, Inung akan baik-baik saja di kota.
Kota sangat ramai bu, banyak kendaraan yang lalu lalang, ada oto1, sepeda, ada juga honda2 yang seperti punya Dae Bram kampung sebelah. Inung nanti juga mau punya honda seperti itu, tapi sekarang Inung cuma mau ccari uang buat menyembuhkan ibu. Ibu sabar sedikit lagi ya. Meski tidak seberapa dan tidak tetap, Inung sekarang sudah punya gaji, dan semuanya bakal buat ibu.


Tuk, tuk. Dua tetes air mata jatuh di kertas membentuk titik yang memecah tinta disekitarnya hingga Rubiyah agak kesulitan mengeja kata buram tersebut. Rasa lega akan kadaan anaknya yang baik-baik saja memenuhi pikirannya saat membaca sisa kalimat lembar pertama surat itu. Setelah mengusap pipinya yang cekung dari butir mutiara berkilau dengan jemarinya, ia mulai membaca lembar kedua.

Ibuku tercantik,

Inung sekarang mulai menabung. Menabung untuk pengobatan ibu, supaya nanti, ibu bisa kembali tersenyum bahagia saat kita kembali bersama. Tapi mungkin akan butuh waktu lama, jad sekali lagi, ibu mohon sabar ya. Sampai saat itu, ibu jangan terlalu keras kerja ya, jangan memaksakan diri mencuci pakaian orang. Inung juga nanti akan kirim uang tiap bulan untuk ibu. Inung yakin sekali ibu bisa sembuh, dan memasak lagi buat Inung. Inung kangen sayur asemnya ibu, sama sambal bawangnya juga. Hihihi……

Ibu tak usah nyusul ke kota. Inung tahu ibu pasti juga kangen banget sama Inung, tapi jangan ambil resiko bu, nanti tersesat. Kota itu luas banget. Inung takut nanti ada apa-apa sama ibu meski Inung tahu, itu karena ibu mencemaskan Inung. Inung sudah besar bu, bisa mengurus diri sendiri. Justru saatnya lah sekarang Inung yang mengurus ibu. Untuk ibu tahu, Inung kerja di kantoran, jadi sukerteris, sakurtas, ah, susah mengejanya, bu. Pokoknya Inung bakal sukses. Inung tingga kos di dekat kantor bu, supaya tidak terlambat. Inung juga sudah punya baju baru buat ke kantor. Inung tidak miskin lagi, bu. Begitu pun ibu. Jadi ibu tak usah repot-repot lagi memikirkan Inung, ya.

Ibuku tercinta,

Inung sangat mencintai ibu, hingga kalung jimat merah yang ibu berikan selalu Inung pegang sebelum tidur supaya Inung ingat dongeng-dongeng yang ibu ceritakan dulu sambil membelai rambut Inung.
Sampai sini dulu ya bu, sudah larut, Inung tidak boleh terlambat kerja besok. Bersama surat ini ada sedikit uang hasil kerja Inung selama ini untuk membantu hidup ibu, sisanya saya tabung bu. Tunggu Inung bu, ya. Inung akan pulang beberapa bulan lagi supaya ibu bisa ke dokter. Inung akan buktikan sama Dae Bram, kalau orang miskin juga butuh sehat. Salam tersayang dari anak lelakimu. Inung.


Beberapa tetes mutiara lagi jatuh dipangkuan Rubiyah sesaat setelah mengakhiri bacaannya. Ia menarik nafas panjang lalu menghelanya. Beberapa saat kemudian ia mulai terbatuk lagi alih-alih terharu pada surat anaknya. Da menekankan surat itu pada dadanya saat batuknya sedikit meringan, mengelus sisi kosong surat itu seolah oua adalah kepala anaknya sendiri yang siap untuk dinina bobo-kan. Dipejamkannya matanya, berdoa akan keselamatan anaknya yang entah sedang apa sekarang.

********************************************

NAN jauh di kota seorang pemuda tengah berlari dibawah guyuran gerimis, tersengal-sengal dengan baju compang-camping sambil memeluk tas wanita di dadanya. Ia tampak linglung disetiap langkahnya hingga terkadang menabrak tong sampah atau sesekali hampir tertabrak angkot saat ia menyebrang jalan dengan tiba-tiba.

Sekitar seratus meter dibelakangnya puluhan orang berlari dibelakangnya, mengejar bak kawanan hayna kelaparan yang memburu mangsanya. Genangan hujan di lorong-lorong menjadi lebih cokelat saat mereka melaluinya, menciprat setiap kali sesosok sandal menginjak atau sekedar menendangnya hingga membasahi ujung-ujung celana orang tersebut. Di antara mereka ada yang membawa bambu pendek, balok, atau bahkan belati dan dilengkapi seruan “maling” di depan mereka membuat lelaki lain yang mendengarnya ikut berlari mengejar satu-satunya pemuda di ujung lorong.

Ketika berbelok matanya segera mencari tempat persembunyian yang mungkin akan menyelamtkannya dari maut, atau mungkin sebaliknya. Matanya cepat bereaksi secepat otaknya berpikir menemukan kolong rumah salah satu penduduk sekitar lalu melompat kebawahnya sebleum gerombolan penuh murka itu tiba dan berbelok di lorong itu, mencoba menghilangkan tanda-tanda keberadaannya.

“Ke mana maling itu? Cepat sekali larinya,” sengal seorang lelaki yang berhenti untuk istirahat bersama tiga rekannya setelah belokan di lorong sementara sebagian besar kawanan itu sudah berbelok lagi di depan.

Sang Maling terbelalak kaget melihat jejak lompatannya yang membekas di tanah memperlihatkan cekungan yang jelas bukan oleh anjing atau orang yang tidak sedang tergesa-gesa. Ia menahan nafas, berharap keempat orang itu tidak cukup jeli untuk menyadari jejak itu, diperjelas dengan gerimis yang sedari tadi memakinya dalam gemuruh, sangat benci pada tindakannya hari ini. Ia mendengar dua diantara orang itu mengumpat, dan saat ia hampir menyadari akan tertangkap, keempat orang itu berlari menerjang gerimis meninggalkannya yang masih di bawah kolong rumah, merasa lega, sambil memegangi kalung jimat merahnya. Ia teringat ibunya.

1. Oto : mobil
2. Honda : motor

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.