22 Maret 2010
baca lah lirik-lirik kejujuranku yang membohongi dunia, membohongimu.
Diza,
kesekian kalinya aku menulis untukmu, dan entah keberapa kalinya kau harus membalas tulisan-tulisanku, aku berterima kasih untuk itu. Aku hanya ingin tahu kabarmu, meski sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik pada kabarmu, aku hanya kangen pada senyummu, pada candamu, pada tawa yang kau gelakkan saat mendengar leluconku dalam amlpop hijau yang kita kirim bergantian. entah kenapa aku kini tak tahan tak mendengar matamu menyapa pasang pupilku seperti pantai yang tak tahan untuk dikecup pasang saat senja mengukir. jadi, bagaimana kabarmu?
Dizastri,
masih kah kau ingat hari-hari kau di belakangku di atas onthel, menyusuri pematang sawah, dan kau mendekap pinggangku erat, takut terjerembab diantara lumpur dan padi? aku rindu siang itu. Atau masih percaya kah kau pada kisah-kisah bintang saat malam-malam tanpa awan menggantung, dan kau terpukau di atas pundakku? aku rindu bau rambutmu. tapi andai kau cepat mengerti akan hatiku yang ikut menggantung bersama awan malam ini, menghalangi bintang. Aku kehabisan ide untuk memberimu isyarat, mungkin lelah. aku kehilangan senyumku.
Diza, oh Diza,
kuharap kau masih sudi membalas tulisanku, agar balasan-balasanmu genap dua kardus menggunung disudut kamarku yang muram tanpa bayangmu. Diza, hari ini aku jujur ingin tahu rasamu, ingin kejelasan sikapmu menghadapi batinku yang hanya tersangga perih sementara sepoi memaksaku merindu padamu, pada wujudmu. tapi kali ini tak kuinginkan cerita tentang dia dalam tinta seolah kau menempa belati dengan ujung-ujung penamu. Tak mampukah aku merayu perhatianmu, memalingkan matamu dari kail pesonanya? aku bertanya.
Diza,
dulu kutatapi kau dari balik bingkai kaca kecil yang bersandar dihidungku. Lebih, kini tak hentinya imajinasiku menatap bayangmu yang menghangatkan malam, secara tak sadar, naluriah, atau mungkin insting penghayal, meski kau tahu aku tahu aku menunggu kosong. menunggu cerita-ceritamu tentangnya, hanya tentangnya, dan selalu tentangnya. Tapi mungkin aku bahagia untuk setiap ukiran parasmu, karena hanya itu yang kutunggu sejak dulu, sejak kau menemaniku mengayuh, menopang dipundakku meski (lagi) aku akan merindu sepoi-sepoi dan perih menyangga batin.
salam rindu,
sahabatmu, pengagummu, perindumu...
baca lah lirik-lirik kejujuranku yang membohongi dunia, membohongimu.
Diza,
kesekian kalinya aku menulis untukmu, dan entah keberapa kalinya kau harus membalas tulisan-tulisanku, aku berterima kasih untuk itu. Aku hanya ingin tahu kabarmu, meski sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik pada kabarmu, aku hanya kangen pada senyummu, pada candamu, pada tawa yang kau gelakkan saat mendengar leluconku dalam amlpop hijau yang kita kirim bergantian. entah kenapa aku kini tak tahan tak mendengar matamu menyapa pasang pupilku seperti pantai yang tak tahan untuk dikecup pasang saat senja mengukir. jadi, bagaimana kabarmu?
Dizastri,
masih kah kau ingat hari-hari kau di belakangku di atas onthel, menyusuri pematang sawah, dan kau mendekap pinggangku erat, takut terjerembab diantara lumpur dan padi? aku rindu siang itu. Atau masih percaya kah kau pada kisah-kisah bintang saat malam-malam tanpa awan menggantung, dan kau terpukau di atas pundakku? aku rindu bau rambutmu. tapi andai kau cepat mengerti akan hatiku yang ikut menggantung bersama awan malam ini, menghalangi bintang. Aku kehabisan ide untuk memberimu isyarat, mungkin lelah. aku kehilangan senyumku.
Diza, oh Diza,
kuharap kau masih sudi membalas tulisanku, agar balasan-balasanmu genap dua kardus menggunung disudut kamarku yang muram tanpa bayangmu. Diza, hari ini aku jujur ingin tahu rasamu, ingin kejelasan sikapmu menghadapi batinku yang hanya tersangga perih sementara sepoi memaksaku merindu padamu, pada wujudmu. tapi kali ini tak kuinginkan cerita tentang dia dalam tinta seolah kau menempa belati dengan ujung-ujung penamu. Tak mampukah aku merayu perhatianmu, memalingkan matamu dari kail pesonanya? aku bertanya.
Diza,
dulu kutatapi kau dari balik bingkai kaca kecil yang bersandar dihidungku. Lebih, kini tak hentinya imajinasiku menatap bayangmu yang menghangatkan malam, secara tak sadar, naluriah, atau mungkin insting penghayal, meski kau tahu aku tahu aku menunggu kosong. menunggu cerita-ceritamu tentangnya, hanya tentangnya, dan selalu tentangnya. Tapi mungkin aku bahagia untuk setiap ukiran parasmu, karena hanya itu yang kutunggu sejak dulu, sejak kau menemaniku mengayuh, menopang dipundakku meski (lagi) aku akan merindu sepoi-sepoi dan perih menyangga batin.
salam rindu,
sahabatmu, pengagummu, perindumu...
4 comment:
rindumu di atas angin
ndak ada nomor hpnya dizza sama kamu kah fathul?
"baca lah lirik-lirik kejujuranku yang membohongi dunia, membohongimu."
hohoho pembuka yang begitu memukai, saya (dalam hati) mengiyakan. karena terkadang berkata jujur itu tak bisa mengungkapkan segalanya, istilahnya "lebay", hehe =)
Ayu: thanks 4 follow.
sky: ndak ada. orangnya sj ndak ada...
k naya (cocokmi panggilannya kh?): hahha, ketahuan artinya di'. k naya jie...
Posting Komentar