24 November 2011

mengandai-andaikan kemungkinan


20 April 2010

aku hidup dalam senyummu/seperti kau hidup bersama anganku/indah takkan menggantikan tawa/nurani hanya mengungkap sepi/sebab darimu aku menanti morse.


Hai Diza,

Awan Nimbus lagi-lagi mengingatkanku padamu, pada cerita kita di bukit berpadang ilalang saat kau hampir terlelap memandangi mereka berbaris, menghalangi siang menusuk matamu agar kau bisa pulas sepenuhnya. Kau tahu, saat kau mengangumi barisan putih itu, aku tak bisa berhenti mengagumi putih wajahmu. Aku bertanya padamu “mengapa bagian bawah awan selalu datar, tak seperti bagian atasnya?” Kau menjawab dengan sebuah tidak tahu dan “mungkin sudut penglihatan kita yang berbeda melihat awan putih itu”. aku juga tak tahu, aku memandangi putih yang lain. wajahmu. Kau tak tahu saja.

Diza,

Aku ingin bertemu. Kali ini aku serius. Mengungkapkan kewarasanku yang diaggap gila oleh dunia, hanya padamu. Aku harus mengirimkan surat tanpa prangko sekali-sekali, hanya dari tangan ke tanganmu, dari bibir ke telingamu agar kau tak jatuh hati pada tukang pos yang selalu mengantarkan suratku padamu. Agar kau bisa menggantungkan kata-kataku di ruang tengah rumahmu, dan kau pamerkan pada teman-temanmu yang datang berkunjung. Diza, bolehkah?

Dizastri,

Setiap kali aku menghadapkan wajahku ke selembar perkamen hijau, mereka selalu menanyaiku, “siapa kah gerangan Diza itu? Apakah dia nyata?” Tapi nyata bagiku tak berbentuk lagi. Ia serupa khayalan, serupa dunia lain yang menembus alam imajinasiku hingga aku tak tahu cara menjawabnya. Karena kau nyata, namun kukhayalkan setiap kali mawar mendesis. Entah apa warnanya. Aku tepat dihadapan jurang keputusasaan akan dirimu namun aku ragu untuk meloncat, Diza. Aku tak tahu pasti apa kau benar-benar ada dan dengan segala pengandaianku akan dirimu bukanlah hanya sekedar andai.

Ditulisanmu sebelumnya yang kabur karena air mata, kau bilang tentang keteguhanmu. Tentang ketegaran seorang wanita akan keseriusannya. Namun, aku tak tahu, keteguhanmu tak cukup jeli menyadari kasihku, atau kebodohanku yang tak mengerti kegigihanmu. Mungkin aku terlalu pengecut untuk merangkul pinggangmu, tapi tidak kah kau berpikir kau terlalu rabun menyadari hadirku di hari-harimu yang dulu? ya, mungkin (lagi-lagi) bukan keduanya. mungkin waktu yang tak menjelma sempat. Mungkin ini soal keraguan. ah, terlalu banyak kemungkinan yang mengandai.




Jadi Diza, kapan kita mungkin bisa bertemu? kutunggu balasanmu.


Salam manis,
dari tinta dengan emosi yang selalu sama.
(semoga kau tak bosan)

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.