Pict. from here |
Pertama
kali aku melihatmu di sana, kau begitu ceria dengan baju putih dan rok bercorak
bunga Alamanda. Masih bisa kuintip sesimpul senyum yang kau gantungkan. Kala
itu kau tengah melambai pada kapal kayu yang melintasi garis cakrawala. Hingga
senja tertidur kau masih disana, dengan senyum yang tak mengendur.
“Hey,
Nona. Apa yang kau lakukan di sana?” aku pura-pura bertanya. Aku sebenarnya
hendak menyuruhmu pulang. Toh, kapal itu pun sudah menghilang di ujung senja.
Tidak baik seorang gadis malam-malam masih di luar. Apalagi di tebing dengan
angin yang membekukan tulang. Maka kau berbalik, melihat wajahku di bawah
temaram bulan separo lalu tanpa kata berjalan pulang ke desa.
***
Siapakah
gerangan dara yang setia ini? Untuk apa ia selalu menunggui kekasihnya yang tak
kunjung pulang? Mengapa ada lelaki yang rela meninggalkannya bersama kesepian? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
selalu terlintas dari benakku ketika kau kembali terlihat di bibir tebing
tengah duduk menggenggam ranting. Tiga purnama, dan kau masih kembali ke sana
Minggu sore. Tidak ada yang berubah. Kau masih dengan baju putih dan rok
bercorak alamanda sedang tersenyum menanti kekasihmu. ku lihat rambutmu masih
menari dengan wangi yang juga masih sama, kenanga. Ya, aku mulai mengenalimu
secara nyata. Kecuali namamu. Jadi, aku menyapamu lagi di akhir sapta purnama.
“Halo nona,” sapaku sore itu. Kau kaget lalu
menengok ke arahku. “Tenang, tenang. Aku tak akan menyakitimu,” kataku saat kau
mulai resah dan nafasmu memburu. Kau jelas tak senang, maka kau mulai bangkit.
“Siapa na…” belum sempat kutanyakan namamu, kau telah berlari menyusuri hutan,
pulang menuju desa.
***
Arina.
Itu jawabmu lima tahun lalu waktu kau mungkin sudah lelah lari dari
pertanyaanku lalu membiarkanku duduk beberapa meter di sampingmu. Aku tak
seberuntung karang dan senja yang bisa memandangimu dari dekat. Jadi aku
terperanjat mendapati pipimu mulai berkerut. Wajahmu muram dengan mata yang
menjadi sendu dan bengkak. Dimana kau menyembunyikan airmatamu, Arina? Dimana
gadis yang dulu selalu menggantungkan senyum dan kerinduannya pada dinding
tebing? Kemana hilangnya wangi kenanga rambutmu? Yang tersisa darinya hanya
kusut dan selembar daun pinus kering yang terjebak dalam kekusutan itu. Ya,
alamanda dan kenanga. Kukira wanita pecinta kuning adalah sosok periang dan
selalu ceria, menggenggam tawa. Mungkin angin laut telah mengikis rindumu. Atau
mungkin ia sudah menyampaikan kabar buruk padamu. Ya kan, Arina?
“Apa
yang masih membuatmu bertahan jika rindu sekali pun telah meninggalkanmu?
Tidakkah kau merasa jenuh?” tanyaku membelah keheningan seperti karang yang
membelah ombak di bawah kita pada suatu ketika.
Kau
diam sejenak. Hanya ombak yang berbicara.
“Jenuh,
hanya untuk orang yang ragu pada harapan,” jawabmu parau. Lalu untuk pertama
kalinya, aku melihat bulir kesedihan merembes dari matamu. Lagi, kau bangkit
lalu pulang memunggungi sore yang belum karam.
***
Tepat
hari Minggu lalu adalah sepuluh kemarau. Hari itu untuk terakhir kalinya di
tebing Padangkawi aku melihat wajahmu yang telah habis dimakan waktu. Meski dengan
suram yang semakin menjadi, harus kuakui kau memang masih terlihat ayu. Setelah
itu, kau menghilang. Aku telah bertanya pada ranting yang biasa kau genggam, pada
camar, pada daun pinus, pada bebatuan, pada seisi tebing. Mereka hanya berkata
kau telah pergi. Mereka tak benar-benar tahu kemana. Angin pun tak tahu.
Arina,
sudahkah kekasihmu kembali dari garis cakrawala hingga tidak ada lagi yang kau
tunggu di bibir tebing? Atau jenuh kah kau, ragukah kau pada harapanmu?
Aku
dengar dari orang desa, kau mengalah pada tebing Padangkawi. Mengikuti rayuan
angin laut dan terbang mengecup karang. Kata mereka, angin laut membawa kabar
tentang keberadaan kekasihmu. Kata mereka kau pergi ke pulau bernama Nirwana
dimana kekasihmu menunggu.
Ah,
aku tak percaya, Arina. Kau tidak mungkin ragu pada harapanmu. Kau tidak
mungkin mengkhianati penantianmu, mengkhianati kekasihmu. Kau orang yang setia.
Jadi kemarin kubuatkan makam untukmu di ujung tebing, biar semua tahu kau masih
di sana. Biar camar bisa menertawaimu terus. Kutimbun kenanganku tentangmu di
tempat itu bersama sedikit harapan yang pernah kau ceritakan. Kusirami dengan
airmata dari jiwaku dan kubuatkan nisan yang indah untukmu. Lalu kubisikkan
pesan perpisahan padamu, “………..” Pesan yang hanya kita yang tahu.
Kata
orang desa, hari ini mereka melihat bibit kenanga di tebing itu. wanginya
semerbak ke dalam hutan. Kata mereka, kau yang menanamnya. Kata mereka, kau
datang mengunjungi makammu.
2 comment:
tulisan yang hebat... nyata dalam narasi yang lembutnya..... Aku baca profile bloggernya dirimu, dan ava serta kata2 introduksi nya sangat keren... Benar sekali, kadang mimpi jadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri yah... ^___^
salam berkenalan... semoga, apa-apa yang menjadi semangatmu dalam menuliskan semuanya, bisa memberikan keberanian pada pembaca seperti aku , untuk bisa tetap berani memiliki mimpi ___^d
waah. jadi malu. wong tulisan asal gitu. hehe...
salam berkenalan juga dan terima kasih. silakan berkunjung kembali :)
Posting Komentar