13 April 2012

Sejumput Kerinduan yang Dimakan Waktu


Pict. from here
Sudah sepuluh kemarau sejak kau tak lagi terlihat di tebing Padangkawi, memandangi lautan yang selalu bungkam setelah mencuri kekasihmu. Sambil berdiri, kau dulu selalu bertanya pada angin laut tentang kabar kekasihmu itu setiap Minggu sore, mengacuhkan para camar yang menertawaimu. Saat lelah berdiri, kau mulai mencari ranting pohon lalu duduk sambil mengukir nama kekasihmu itu di tanah. Kau tak tahu, aku hampir selalu mendapati airmatamu merembes di tebing pipimu yang halus sebelum meloncat ke sela  huruf-huruf yang kau tulis.
Pertama kali aku melihatmu di sana, kau begitu ceria dengan baju putih dan rok bercorak bunga Alamanda. Masih bisa kuintip sesimpul senyum yang kau gantungkan. Kala itu kau tengah melambai pada kapal kayu yang melintasi garis cakrawala. Hingga senja tertidur kau masih disana, dengan senyum yang tak mengendur.
“Hey, Nona. Apa yang kau lakukan di sana?” aku pura-pura bertanya. Aku sebenarnya hendak menyuruhmu pulang. Toh, kapal itu pun sudah menghilang di ujung senja. Tidak baik seorang gadis malam-malam masih di luar. Apalagi di tebing dengan angin yang membekukan tulang. Maka kau berbalik, melihat wajahku di bawah temaram bulan separo lalu tanpa kata berjalan pulang ke desa.
***
Siapakah gerangan dara yang setia ini? Untuk apa ia selalu menunggui kekasihnya yang tak kunjung pulang? Mengapa ada lelaki yang rela meninggalkannya bersama kesepian? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu terlintas dari benakku ketika kau kembali terlihat di bibir tebing tengah duduk menggenggam ranting. Tiga purnama, dan kau masih kembali ke sana Minggu sore. Tidak ada yang berubah. Kau masih dengan baju putih dan rok bercorak alamanda sedang tersenyum menanti kekasihmu. ku lihat rambutmu masih menari dengan wangi yang juga masih sama, kenanga. Ya, aku mulai mengenalimu secara nyata. Kecuali namamu. Jadi, aku menyapamu lagi di akhir sapta purnama.
 “Halo nona,” sapaku sore itu. Kau kaget lalu menengok ke arahku. “Tenang, tenang. Aku tak akan menyakitimu,” kataku saat kau mulai resah dan nafasmu memburu. Kau jelas tak senang, maka kau mulai bangkit. “Siapa na…” belum sempat kutanyakan namamu, kau telah berlari menyusuri hutan, pulang menuju desa.
***
Arina. Itu jawabmu lima tahun lalu waktu kau mungkin sudah lelah lari dari pertanyaanku lalu membiarkanku duduk beberapa meter di sampingmu. Aku tak seberuntung karang dan senja yang bisa memandangimu dari dekat. Jadi aku terperanjat mendapati pipimu mulai berkerut. Wajahmu muram dengan mata yang menjadi sendu dan bengkak. Dimana kau menyembunyikan airmatamu, Arina? Dimana gadis yang dulu selalu menggantungkan senyum dan kerinduannya pada dinding tebing? Kemana hilangnya wangi kenanga rambutmu? Yang tersisa darinya hanya kusut dan selembar daun pinus kering yang terjebak dalam kekusutan itu. Ya, alamanda dan kenanga. Kukira wanita pecinta kuning adalah sosok periang dan selalu ceria, menggenggam tawa. Mungkin angin laut telah mengikis rindumu. Atau mungkin ia sudah menyampaikan kabar buruk padamu. Ya kan, Arina?
“Apa yang masih membuatmu bertahan jika rindu sekali pun telah meninggalkanmu? Tidakkah kau merasa jenuh?” tanyaku membelah keheningan seperti karang yang membelah ombak di bawah kita pada suatu ketika.
Kau diam sejenak. Hanya ombak yang berbicara.
“Jenuh, hanya untuk orang yang ragu pada harapan,” jawabmu parau. Lalu untuk pertama kalinya, aku melihat bulir kesedihan merembes dari matamu. Lagi, kau bangkit lalu pulang memunggungi sore yang belum karam.
***
Tepat hari Minggu lalu adalah sepuluh kemarau. Hari itu untuk terakhir kalinya di tebing Padangkawi aku melihat wajahmu yang telah habis dimakan waktu. Meski dengan suram yang semakin menjadi, harus kuakui kau memang masih terlihat ayu. Setelah itu, kau menghilang. Aku telah bertanya pada ranting yang biasa kau genggam, pada camar, pada daun pinus, pada bebatuan, pada seisi tebing. Mereka hanya berkata kau telah pergi. Mereka tak benar-benar tahu kemana. Angin pun tak tahu.
Arina, sudahkah kekasihmu kembali dari garis cakrawala hingga tidak ada lagi yang kau tunggu di bibir tebing? Atau jenuh kah kau, ragukah kau pada harapanmu?
Aku dengar dari orang desa, kau mengalah pada tebing Padangkawi. Mengikuti rayuan angin laut dan terbang mengecup karang. Kata mereka, angin laut membawa kabar tentang keberadaan kekasihmu. Kata mereka kau pergi ke pulau bernama Nirwana dimana kekasihmu menunggu.
Ah, aku tak percaya, Arina. Kau tidak mungkin ragu pada harapanmu. Kau tidak mungkin mengkhianati penantianmu, mengkhianati kekasihmu. Kau orang yang setia. Jadi kemarin kubuatkan makam untukmu di ujung tebing, biar semua tahu kau masih di sana. Biar camar bisa menertawaimu terus. Kutimbun kenanganku tentangmu di tempat itu bersama sedikit harapan yang pernah kau ceritakan. Kusirami dengan airmata dari jiwaku dan kubuatkan nisan yang indah untukmu. Lalu kubisikkan pesan perpisahan padamu, “………..” Pesan yang hanya kita yang tahu.
Kata orang desa, hari ini mereka melihat bibit kenanga di tebing itu. wanginya semerbak ke dalam hutan. Kata mereka, kau yang menanamnya. Kata mereka, kau datang mengunjungi makammu.

2 comment:

W i e d e s i g n a r c h mengatakan...

tulisan yang hebat... nyata dalam narasi yang lembutnya..... Aku baca profile bloggernya dirimu, dan ava serta kata2 introduksi nya sangat keren... Benar sekali, kadang mimpi jadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri yah... ^___^

salam berkenalan... semoga, apa-apa yang menjadi semangatmu dalam menuliskan semuanya, bisa memberikan keberanian pada pembaca seperti aku , untuk bisa tetap berani memiliki mimpi ___^d

Falra mengatakan...

waah. jadi malu. wong tulisan asal gitu. hehe...
salam berkenalan juga dan terima kasih. silakan berkunjung kembali :)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.