14 Maret 2015

Mengapa Tuhan Tidak Menciptakan Mesin Waktu

Pict. from here

Pada tengah malam yang buta, saya tiba-tiba terbangun dan tak hendak terpejam lah untuk beberapa lama. Waktu-waktu yang enggan dilalui mata saya dengan bermimpi diluangkan untuk iseng membuka lini kala di twitter dan akhirnya terjerembab di salah satu postingan blog seorang teman yang malam itu ia cuitkan. Anehnya, teman ini membuat saya bisa menulis lagi di blog ini setelah sekian lama. (terima kasih, kak. :) )

Saya tak begitu mengerti apa yang dituliskannya - terbangun tengah malam tentu membuat kepala sulit diajak fokus, apalagi dipaksa - tetapi saya bisa menangkap keresahan-keresahan yang dibentuk oleh sekumpulan kalimatnya: penyesalan.

Ada banyak alasan yang membuat orang merasakan sesal, tetapi hanya perlu satu komponen untuk membuat orang-orang itu menyadari penyesalannya. Kita menyebut komponen itu sebagai waktu. Pepatah "penyesalan selalu datang belakangan" sudah ada sejak entah dan manusia tak pernah bisa menyadari artinya sampai mereka merasakannya sendiri.

Berangkat dari penyesalan, kita kemudian mulai belajar mereka-reka masa lalu yang secara harfiah hanyalah setumpuk ingatan getir. Kita (atau sebut saja mereka, jika kau keberatan dan pikiranmu mulai mengoceh, "kita? loe aja kali.") mulai berandai-andai terhadap berbagai kemungkinan yang seharusnya dilakukan ketimbang apa yang sebenarnya telah terjadi. Mengubah masa lalu adalah alasan paling mudah dan mungkin satu-satunya yang bisa dipikirkan para ilmuwan untuk menciptakan mesin waktu.

Sampai saat ini, dengan berandai-andai, kepalamu adalah mesin waktu paling ekonomis sekaligus realistis yang tidak pernah diciptakan manusia. Masa lalu - dalam kepalamu, hanya dalam kepalamu - dapat berubah sesuai keinginanmu. (Ah! saya pernah menulis cerpen tentang ini.)

Saya tak tahu tentangmu, tetapi agama saya (ya, agama) tidak terlalu bersahabat dengan istilah berandai-andai. kebanyakan berandai-andai membuat kita lupa bersyukur pada apa adanya kita kini. Penyesalan membuat kita menjadi lebih teliti pada kesalahan-kesalahan lampau dan mengubahnya menjadi rayap yang memakan keteguhan hidup kita sendiri. Kita menjadi rapuh dan mudah diserang rasa bersalah. Padahal, bahkan jika kita berhasil mengubah satu momen penyesalan menjadi seperti yang kita inginkan tak pernah ada jaminan kekinian kita akan berakhir lebih baik. Masa depan selalu menyediakan ketidakpastian.

Tak sepenuhnya buruk, berandai-andai tentang masa lalu diperbolehkan untuk diambil sebagai pelajaran, bukan penyesalan. Bahkan tanpa perlu dikhayalkan, penyesalan sesungguhnya membuat kita memahami arti kesalahan sebagai sesuatu yang pantas diterima. Itu artinya kita telah sampai pada fase memaafkan diri sendiri dan belajar darinya. Adapun kata-kata atau sikap orang lain terhadap kesalahan kita semestinya tak menjadi alasan kita ikut membenci diri sendiri. Bukankah kesalahan yang menjadikan kita manusiawi?



Dengan semua kesalahan yang terjadi, bisakah kita tidak menyesal? Tentu saja bisa. Tidak segala kesalahan membutuhkan kekecewaan. Saya gagal melanjutkan hubungan dengan seseorang, dan saya tak menyesali waktu-waktu saya yang terbuang bersamanya. kesedihan dan kekecewaan adalah dua hal yang bertalian meski tak selalu harus hadir bersamaan. Bukan hidup namanya jika jalan kita hanya berpapasan dengan yang baik-baik saja atau yang indah-indah saja.

"Sebanyak-banyaknya penyesalan, saya berpikir, kita punya lebih banyak perihal yang patut disyukuri" ~ falra.


Jika kamu masih belum mengerti, kamu perlu menonton film di atas, atau jika sudah, tontonlah lagi. saya mengingat film itu sesering saya menyesali sesuatu. Ada banyak film tentang mesin waktu, dan pesannya relatif sama. Namun saya lebih suka film "The Time Machine" (2002) ini.

PS: Tolong jangan menganggap saya orang bijak karena tulisan ini (nanti saya Ge-er). Saya hanya orang yang menganggap masa lalu layaknya keindahan alam. Tak perlu diusik, biar saja seperti adanya. Jika kau tak percaya, baca saja judul blog ini.



0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.