Kay, kau ingat, saat kau ngambek sore-sore di beranda sambil memandangi layang-layang api yang berkejaran di udara. kau diam. lamaaa sekali. dan ketika para layang-layang api itu lelah, kau bilang, "maaf atas air mukaku. aku jutek ya?" aku hanya menggeleng sambil tersenyum. hampir saja aku meleleh dari beranda. kau tahu, saat itu aku sadar, Kay, aku menyukai pipimu yang cembung, suaramu yang ranum. aku menyukaimu.
Masih kukenang jawabanmu saat aku mencoba menyatakan kesadaran hatiku. "Sebaiknya jangan, Khira. Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Aku telah tertambat di hati yang lain." Aku sudah menduga, hingga setelahnya tak ada gunung yang runtuh atau gemuruh petir dengan angin badai. aku tak pernah ragu pada kebenaran pepatah sepatah cinta dan kepemilikannya, Kayla. aku tahu keniscayaan rasa sakit yang salah mengartikan kau sebagai bahasa kalbu. perih.
Kayla, kau tahu lagi, semenjak masa itu, secara idiopatik, aku makin menyukaimu. maka maafkan lah aku yang akan selalu menghantuimu...
Read More
Masih kukenang jawabanmu saat aku mencoba menyatakan kesadaran hatiku. "Sebaiknya jangan, Khira. Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Aku telah tertambat di hati yang lain." Aku sudah menduga, hingga setelahnya tak ada gunung yang runtuh atau gemuruh petir dengan angin badai. aku tak pernah ragu pada kebenaran pepatah sepatah cinta dan kepemilikannya, Kayla. aku tahu keniscayaan rasa sakit yang salah mengartikan kau sebagai bahasa kalbu. perih.
Kayla, kau tahu lagi, semenjak masa itu, secara idiopatik, aku makin menyukaimu. maka maafkan lah aku yang akan selalu menghantuimu...