10 Mei 2016

DORO LONDA

Fathulrachman


Fatimah Intan Karimah, 4 th


Sebelah alis La Hami terangkat. Ini kali ke dua ia melewati pohon asam yang sama sejak mula memutuskan untuk turun dari bukit itu. Padahal La Hami hanya berjalan lurus ke bawah. La Hami ingat betul pohon asam yang persis seperti di hadapannya sudah ia lalui beberapa puluh meter di bagian bukit yang lebih tinggi.
La Hami menghentikan langkahnya lalu meletakkan seikat besar kayu bakar yang dipanggulnya ke tanah. Cepat-cepat kepalanya ia tolehkan ke belakang seperti meminta kepastian pada jejak-jejak kakinya sendiri. Tanah masih basah akibat hujan sepanjang pagi. Sungguh tidak mungkin ia melewati dua pohon asam yang sama persis tanpa meninggalkan jejak kaki yang sama pula. Dalam pikirannya yang bergumul dengan logika, terlintas dalam benak La Hami, mungkin memang ada yang aneh dengan bukit ini.
Sejak mengenal dunia, La Hami dan orang-orang di desanya sebenarnya sudah diwanti-wanti untuk tidak pernah mendaki ke bukit keramat itu, apa pun alasannya. Katanya, bukit itu iso. Ompu Tua selalu menegaskan larangannya, “jangan sekali-sekali mendaki Doro Londa! Jangan cari perkara dengan doro itu! Siapa saja yang naik ke sana tak akan pernah kembali kecuali dengan membawa petaka.”
Doro Londa telah menjadi simbol hal-hal gaib bagi masyarakat di desa Panda, tempat La Hami tinggal, dan desa-desa lain yang membentang di kaki bukit tersebut. Menurut orang-orang desa, bukit itu sudah dikeramatkan sejak masyarakat masih menganut kepercayaan makakamba-makakimbi, sebelum Sang Bima datang. Dari bibir setiap sudut desa, La Hami sudah banyak mendengar cerita-cerita mistis yang dilahirkan oleh rahim Doro Londa dan entah berapa banyak lagi yang masih dikandungnya.
Doro Londa dan mitosnya selalu terselip di setiap pembicaraan warga desa. La Hami sering kali mendengar Ompu Tua bercerita tentang banyaknya jin yang menunggui bukit itu, serta kesialan yang akan menimpa siapa saja yang mendekati Doro Londa. Melalui ibu-ibu yang berkumpul saat membeli sayur keliling, La Hami juga tidak sengaja mendengar tentang mitos ular raksasa yang berkeliaran di bukit. Dari para remaja yang diam-diam pernah mendaki Doro Londa, La Hami mendengar lebih banyak variasi cerita. Mulai dari istana jin beserta pasukannya, kucing atau burung raksasa, sampai mahluk jadi-jadian. Setiap mereka khatam mendeskripsikan suatu mahluk, anak-anak remaja lain yang mendengarkan selalu ada yang mengelus-elus bulu tengkuknya atau sekedar menggigil kengerian.
La Hami tak punya pilihan selain mencari kayu bakar di Doro Londa. Melihat ibunya menjadi buruh di ladang orang lain untuk mengisi perut mereka berdua membuat hati La Hami perih. Selain menjadi buruh ladang, Kadang-kadang jika sedang sangat butuh uang, ibu La Hami mengetuk pintu rumah tetangga sekitar, menanyakan apakah ada pakaian yang mau dicucikan olehnya.
Ibunyalah satu-satunya orang yang tahu tentang pendakian doro londa yang dilakukan La Hami. Berkali-kali ia naik turun tanpa sepengetahuan orang desa kecuali ibunya. Berkali-kali pula ibunya membujuk La Hami mengurungkan niatnya untuk kembali menjajaki Doro Londa. Awalnya dia tak cuirga dengan kegiatan baru La Hami membantu keuangan keluarga dengan mencari kayu bakar. Betapa kaget bukan kepalanglah dia ketika La Hami mengaku mengambilnya di kedalaman Doro Londa. Meski begitu tentu saja ibunya tak akan melapor ke Ompu Tua. Semua yang diketahui pernah mendekati Doro Londa akan dijauhi warga desa. Bagi Ibu La Hami, itu artinya tak ada lagi yang akan memberinya pekerjaan.
Rasa iba pada ibunya telah membuat La Hami menjadi lelaki yang tidak takut pada mitos Doro Londa betapapun besar petakanya. Petaka terbesar La Hami adalah melihat ibunya tak makan seharian karena tak ada lagi ladang yang perlu digarap atau baju yang perlu dicucikan. Bahkan walau La Hami percaya, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk menjaga tungku di dapurnya tetap menyala. Ia bisa saja mengikut pada sampan-sampan nelayan untuk melaut. Namun pada musim penghujan seperti ini, penghasilan melaut menjadi sulit. Tak banyak ikan yang bisa ditangkap para nelayan, apalagi untuk La Hami yang hanya menumpang sampan. Pada musim hujan, justru kayu bakar menjadi mahal jika dijual di pasar. Itu selama orang-orang tak tahu, kayu tersebut berasal dari Doro Londa.
Kini, setelah mendapat seikat besar kayu bakar, La Hami harus segera turun dari bukit. Langit mulai sendu. Hujan pun bisa turun kapan saja. La Hami harus segera pulang sebelum gelap atau hujan memeluk Tanah Bima. Kayu-kayu itu tak boleh basah agar bisa cepat dijual. Malam ini cahaya purnama juga tak bisa menembus kerumunan awan. Akan sulit untuk menapak dengan aman. Diangkatnya kembali seikat kayunya lalu mulai berjalan menuruni bukit. Ia memutuskan untuk melupakan perihal pohon asam itu. Mungkin kesamaan itu hanya perasaanya saja. Mungkin pula kedua pohon tersebut memang mirip, La Hami saja yang tak terlalu serius menanggapinya. Dengan asumsi-asumsi yang demikian ia menyegerakan langkahnya lurus ke kaki bukit. Ia dan kayu-kayunya harus segera tiba di rumah.
Sesungguhnya, La Hami tak perlu menjadi pencari kayu bakar di Doro Londa jika saja ayahnya tidak pergi mengadu nasib di tanah Sulawesi. Ketika saudagar Makassar yang mendakwahkan islam di tanah Bima pulang ke tempat asalnya, Ayah La Hami ikut menumpang Pinisi dan mencoba peruntungan di sana. Tetapi kabar tiba atau peruntungannya tak pernah kembali ke telinga La Hami dan ibunya. Selama lima kali Muharram, La Hami dan ibunya hidup dengan kerinduan yang disusupi sebentuk pengkhianatan.  Selama tak ada kabar yang jelas tentang nasib ayahnya, La Hami dan ibunya akan selalu tidur dengan dua pertanyaan: apakah ayahnya sudah meninggal, atau sebaliknya, menjadi sukses dan melupakan dia dan ibunya.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, kayu-kayu yang dipanggul La Hami ia turunkan lagi. Kali ini La Hami dicegat oleh perasaan was-was. Jakunnya beberapa kali naik turun menelan ludah. Sekarang La Hami tak mungkin salah, pohon asam yang sudah dua kali dilewatinya lagi-lagi ada dihadapannya. Tak perlu diamati terlalu lama, itu pohon asam yang sama. Tidak ada tiga pohon yang persis sama arah tumbuh dan lekuk batangnya. Yang mengherankan, tak ada jejak kaki yang menapak disekitar situ seolah ini pertama kalinya La Hami lewat.
Gelegar guntur di rerimbunan awan menjadi lonceng dimulainya lagi pertarungan pikiran La Hami. Ia sudah beberapa kali membuktikan keberaniannya di Doro Londa dan itu dilakukannya dengan rute yang sama. Cila mboko yang tersampir di pinggang La Hami menjadi saksi kegagahannya membabat belukar sehingga menjadi sebentuk jalan setapak. Lalu pohon asam itu juga telah menjadi penanda jalan yang harus ditempuhnya untuk kembali ke desa. Setelah melewati pohon asam, La Hami hanya perlu berjalan lurus menuruni bukit. Itu rutenya. Selama berkelana di Doro Londa, belum pernah ia melewati dua atau bahkan tiga pohon asam yang persis serupa. Tapi betapa pun anehnya pemandangan itu, air wajah La Hami tetap keras seolah menolak mengakuinya sebagai petaka. Dahinya yang hitam mengernyit. Tak mungkin aku tersesat, pikirnya.
Di dalam dada La Hami, pohon asam itu seperti penyakit yang pelan-pelan menyerang keteguhannya. Ia tidak ingin menerima keanehan yang sedang dialaminya sebagai peristiwa yang mistis. Namun La Hami tak bisa menjelaskan dengan logis bagaimana pohon asam yang persis sama itu bisa tiga kali ada di hadapannya sedangkan tak ada bekas kakinya yang menjejak. Lagi pula tidak mungkin La Hami tiba di tempat yang sama selama ia hanya berjalan lurus ke kaki bukit.
Berapa lama pun berpikir, La Hami tetap tidak bisa mengerti. Dengan menghitung waktu lamanya berjalan semestinya ia sudah berada di kaki bukit menyusuri jalanan desa lalu tiba di rumah. Sementara desanya belum juga nampak, pertanyaan-pertanyaan aneh terus berloncatan dari kepala La Hami seperti jangkrik yang lepas dari kandangnya. Sesekali, pertanyaannya itu terbentur dengan segala cerita mistis tentang Doro Londa yang sudah lama mendiami ingatannya.
Dahi La Hami mengernyit lebih keras. Tak mau berlama-lama berputar dalam pikirannya sendiri, La Hami memutuskan mengangkat kayu-kayunya sekali lagi. Tak ada yang bisa diketahui dari perdebatan dengan diri sendiri, gumamnya. Toh satu-satunya jalan adalah ke bawah. Sudah terlalu lama ia membiarkan ibunya sendirian di rumah.
Guntur masih bergemuruh seumpama perut La Hami yang kelaparan. Petang sedari tadi telah meremang. Saat-saat seperti itu, dengan mengenakan rimpu di kepalanya, ibu La Hami berangkat ke pasar sore. Ibu La Hami akan mencari keladi dan kelapa untuk menu makan malam. Keladi itu akan direbus dan kelapanya diparut kemudian diasinkan. La Hami sangat suka menu itu. Atau jika beruntung, ibu La Hami bisa mendapat ikan-ikan yang tidak laku dijual dengan harga murah. Ikan-ikan itu akan direbus kunyit asam. Ketika La Hami pulang ibunya selalu telah selesai mengisi kolong tudung saji untuk makan malam.
La Hami terus berjalan membelah Doro Londa sambil masih membayangkan masakan ibunya. Kayu-kayu bakar yang dipanggulnya terayun kokoh seolah tak lagi berat jika menyaksikan kehangatan keladi dan lauk pauk yang terhidang di ingatannya. Kekhawatirannya lenyap sepanjang kenangannya pada suasana rumah dan ibunya. Langkahnya lambat laun menjadi gegas. La Hami yakin, dengan berjalan terus ke bawah kaki bukit, dia akan tiba di jalan desa, lalu masuk ke rumah untuk bersantap malam bersama ibunya, tentu saja jika ia tidak bertemu dengan pohon asam yang sama untuk keempat kalinya.
Bima, 2015
***
Doro: Bukit
Iso: Keramat
Ompu Tua: Tetua adat/Orang yang dituakan dalam sebuah desa
Makakamba-Makakimbi : kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang dianut masyarakat Bima pada Zaman Naka (Prasejarah) sampai sekitar abad ke-8 Masehi.
Cila mboko: Parang yang ujungnya bengkok, biasa digunakan untuk berladang.
‘Dohoe: wahai sekalian.

Rimpu: Sejenis sarung yang biasa digunakan wanita suku Bima sebagai jilbab sejak Islam masuk pada abad ke-16 Masehi.


Dimuat dalam Laman Literasi Lombok Post, 8 Mei 2016
Read More

12 April 2015

Bagaimana Seekor Katak Menemukan Keberanian dan Keluar dari Tempurungnya

“No man ever steps the same river twice, for it’s not the same river and he’s not the same man.” ~ Heraclitus, Filsuf.

Jalan Panjang Menuju Puncak Kelimutu

Dunia itu luas, meski orang-orang asing yang ditakdirkan bertemu lebih dari sekali sering mengatakan sebaliknya. Ada begitu banyak perihal yang tidak kita ketahui meski orang-orang picik tidak berpikir demikian.

Dengan dua kalimat itu, saya kemudian memutuskan untuk bertualang dan menuliskan kisah lain dalam hidup saya untuk diri saya sendiri yang di masa depan. Saya ingin mengingatkan diri saya yang nanti tentang perihal-perihal baik yang mungkin terjadi dalam perjalanan ini, agar setiap kali menerima kesedihan ia akan percaya selalu ada lebih banyak kebahagiaan dalam dunia ini. Saya tak perlu terlalu kuatir tentang kesedihan yang ada dalam tualang itu atau bagaimana perjalanan itu akan berlangsung. Saya hanya perlu tahu bahwa ujung jalan itu akan mengubah diri saya menjadi seseorang yang lain (dan semoga lebih baik).

Saya sendiri bersama beberapa teman, pada suatu pertemuan akhirnya sepakat berpetualang dengan cara backpacking. Menenteng keril lalu menantang alam, menapak jejak sembari menepuk dompet, mengecup tempat-tempat baru dan mengecap pengalaman baru. Melakukan perjalanan dengan cara backpacking adalah kegiatan yang tidak asing lagi di zaman sekarang. Orang-orang bisa melakukan tualang ke mana pun dan kapan pun mereka inginkan –dengan batasan-batasan tertentu– tanpa perlu mengeluarkan banyak uang. Setiap orang-orang itu tentu saja mempunyai alasan yang dan pandangan yang berbeda mengenai langkah-langkah menuju ‘kehidupan lain’ yang mereka lakukan. Ada yang melakukannya karena kesenangan semata, refreshing, lari dari ‘kenyataan’, ilmu pengetahuan, perjalanan religi, gaya hidup, hobby, atau juga gabungan dari perihal tersebut.

Mungkin tidak jauh berbeda dengan mereka yang telah menempuh kembara sebelumnya. Hanya saja, dalam perjalanan kami ada sesuatu yang mungkin tak setiap perjalanan memilikinya. Jika pada umumnya orang mengunjungi malaysia atau singapura atau luar negeri lebih jauh yang menggiurkan mata untuk backpacking, kami lebih memilih Nusa Tenggara sebagai tujuan. Selain karena kami punya beberapa kenalan di beberapa bagian tempat,  ada sejumlah alasan filosofis mengapa kami memilih NusaTenggara.

Pertama, sebagai orang Indonesia yang meskipun hidup di bagian tengah – saya dari Makassar – tetapi saya bersama teman-teman perlu melihat sendiri bagaimana kehidupan saudara setanah air kita di bagian timur. Kami ingin membuktikan bagaimana tindakan pemerintah kita terhadap kesenjangan pembangunan negara. Terdengar seperti pejabat yang blusukan? Tidak. Saya sama sekali tak tertarik tentang politik. Yang ingin saya bersama teman-teman munculkan pada diri kami sendiri adalah rasa peka dan kepedulian sosial yang diperlukan sebagai dokter sehingga perjalanan ini bukan jalan-jalan biasa. Maka hanya dengan cara backpacking-lah saya bersama teman-teman bisa berkomunikasi lebih dekat dengan masyarakat.

Kedua, dalam penjelajahan Nusa Tenggara ini kami ingin melintasi perbatasan Timor Leste setelah melihat bagaimana orang-orang  di sana mempertahankan jiwa nasionalisme mereka. Kata teman seperjalanan saya, “Nasionalisme itu tidak hanya dipelajari di bangku-bangku sekolah, tetapi perlu dengan pengalaman nyata.”

Tinggal di perbatasan mungkin bisa dianalogikan dengan kebimbangan hidup seseorang terhadap agama – meski tidak sakral tentunya. Namun kemampuan seseorang untuk mempertahankan hidup yang layak tentu bisa mempengaruhi jiwa nasionalisme. Inilah hal yang sebenarnya perlu diperhatikan pemerintah terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah perbatasan.

Lalu ketika menjadi wisatawan asing di Timor Leste (yay! akhirnya ke luar negeri juga) kami ingin mencoba melihat bagaimana negara kecil ini membangun dirinya setelah kemerdekaan. Bagaimana sejarah dituturkan dari mulut-mulut orang lokal. Karena ingin jalan-jalan, tentu kami mempertanyakan bagaimana tempat wisatanya.

Ketiga, kami percaya bahwa eksotisme Nusa Tenggara tak kalah indah dibanding tempat wisata di daerah lain atau di negara lain. Indonesia punya banyak tempat yang perlu dijelajahi dan dikuak keindahannya untuk diperkenalkan dengan lebih layak ke wajah dunia, terutama di Nusa tenggara ini.
Keempat, latar kami yang bergelut di dunia kesehatan sebagai dokter semakin membuat perjalanan ini bukan ekspedisi biasa. Di perbatasan, seorang dokter TNI yang satu almamater dengan kami mengajak untuk melakukan bakti sosial berupa pengobatan dan sunatan massal. Maka lengkap sudah tualang kami. Ada manfaat timbal balik yang kami dan masyarakat sekitar dapatkan. Setidaknya perjalanan ini buka langkah yang sia-sia.

Agama di wilayah Nusa Tenggara Timur mayoritas kristiani (katolik). Kami datang kebetulan bertepatan dengan hari-hari paskah. Saya melihat orang-orang di tempat ini begitu religiuis beribadah ke gereja dan pada sebagian besar wilayah, amat sulit mendapatkan masjid. Tanpa saya sadari tantangan terbesar saya dalam perjalanan ini sebagai umat muslim, adalah bagimana menjaga keistiqomahan saya beribadah dengan tak adanya masjid dan air serta godaan pikiran sendiri. Ini tanpa secara kebetulan menjadi alasan kelima mengapa perjalanan ini menjadi menarik. Di tempat yang jauh dari rumahNya, saya merasa sangat menikmati perjuangan sebagai hamba yang (berusaha) taat. :’)

Seperti katak dalam tempurung yang baru menemukan keberaniannya dan melompat keluar untuk melihat dunia, sudah beberapa kali saya bersama teman-teman merencanakan perjalanan, namun baru kali ini kami menemukan kesempatan dan keberanian untuk keluar dari  balik meja kerja. Kami tahu perjalanan ini tak bisa selalu baik-baik saja, dan kami harus menyiapkan keberanian untuk itu. Pada akhirnya apa yang kita lakukan akan membentuk diri kita sendiri di masa depan, dan saya melakukan perjalanan ini dengan harapan dapat memperbaiki cara pandang saya tentang cara kerja dunia dan menambah sudut pandang saya tentang kehidupan.

Orang bijak selalu berkata, “bukan tujuan yang penting, tetapi perjalanannya.” Dan saya sepenuhnya sepakat, walaupun bagi saya, tujuan yang sesungguhnya dari petualangan adalah perjalanan itu sendiri. ~ Falra

PS: Detik dan detil petualangan akan saya bagikan di postongan berikutnya.
Read More

21 Maret 2015

Kecupan, Rumah dan Buku-buku (Puisi)

Curhat Sepotong Kecupan

Selagi tubuhku belum melayang, mendarat dan menghilang dengan sempurna
Aku ingin dibesarkan bersama kehidupan dan kenangan yang tak pernah padam.
Bila tiba saatnya aku menghempas, letakkanlah keikhlasan di setiap jejak bibirmu.
Agar kelak bertunaslah harapan, dan bertumbuhlah angan-angan
serta agar kebahagiaan memulai paginya dari sana.

Sematkanlah kerinduan pada setiap selamat tinggal dan selamat datang
Di kening dan jemari orang-orang yang telah atau akan ditinggalkan
Ucapkanlah doa-doa tentang kepulangan masa lalu setelah menjauh,
tentang keselamatan masa depan sebelum kembali,
juga tentang masa-masa kepergian yang acap kali misteri.

Aku ingin tinggal di kening istri-istri yang menjaga dirinya,
di pipi kekasih yang memeluk kerinduannya,
di punggung tangan orang tua yang merelakan anaknya berangkat sekolah,
juga di mata jendela yang menunggu cahaya pagi.

aku ingin mati dari bibir orang-orang penyayang,
dari ingatan-ingatan yang tak sudi kehilangan,
dari nafas-nafas pecinta yang saling melupakan.

 Biarkan maut menemukanku di tempat yang lebih bermakna.



Rumah dan Sajak-sajak tertidur

Aku sungguh-sungguh sedang menantikan malam datang bertandang
Di tengah padang gelap aku merasa bisa merakit rumah  dengan ketenangan
Saat itu, orang-orang terlalu sibuk membangun mimpi dan enggan mengotori jalan
Angin akan mengantuk dan dedaunan adalah tangan-tangan yang berdoa.
Waktu juga kegelisahan bernafas tanpa nyanyian mesin-mesin panas.

Aku ingin tinggal di atap yang lengang dari kesedihan
Setiap malam, kita akan membacakan sajak atau menanam kenangan
di kening anak-anak kita sebelum mereka tertidur.
Sambil terus berharap ketika esok tiba,masa lalu berubah menjadi tawa,
Begitu kebahagiaan mendekap wajah mereka dan mendekam di sana.

Rumah kita tak butuh neon atau mesin pendingin udara
Kata-kata dan irama adalah kesejukan yang alami
Bila malam tiba aku akan menyalakan ruang tamu dengan puisi,
Agar kesenduan bisa melihat wajahnya sendiri

Di kamar, Aku selalu berharap bisa tidur di atas sajak,
Jangan pernah takut kedinginan,
Pelukan tak pernah gagal menjadi selimut terhangat
Lengan-lengan kita terus merambat erat mengikat
Mereka tumbuh sebagai sesuatu yang tak bisa ditebang
Juga api yang tak sejahat nyala puntung rokok.



Buku tertawa

setelah wanita itu pergi ke sebuah pulau yang tidak pernah dikenalnya, kau sering membunuh kesendirian dan menghidupkan kesepian di perpustakaan.
Kau hendak tinggal bersama buku-buku yang kerap berharap bertahan pandai selamanya.
kau menghamparkan mereka di atas meja layaknya semesta kata-kata atau peti yang mengandung rahasia.
Kemudian kesedihan yang tak bersudah membuat semua buku itu membuka sangat lebar. Bahasa, kata, dan aksara keluar dari lembar halamannya masing-masing. Tiba-tiba saja setiap huruf dan angka menguap, berkembang dan mengambang menjadi suara tawa.

Buku-buku itu membuka-katupkan dirinya seperti bibir yang sedang terbahak.
Kau merasa sedang berada di dalam pertunjukan lawak dengan penonton yang sakit perut karena banyak tergelak.
Buku-buku renta yang berbaris di raknya juga tertawa sangat keras dan lepas.
Suara tawa buku-buku itu membanjiri perpustakaan yang pengunjungnya hanya dan selalu sedikit. Kau lalu membayangkan buku-buku itu basah dan mengapung bagai perahu di atas suara tawanya sendiri. Kau dan pengunjung lain hanya penumpang yang ikut berlayar.

Kini segenap buku di dalam perpustakaan sempurna tertawa. Tak ada lelah atau jeda yang sudi menghentikan suara tawanya.
Semua buku itu terus saja tertawa, mengabaikan peringatan dilarang berisik yang digantung di dinding perpustakaan.
Kaulah satu-satunya yang tidak berhasil menerka guyonan itu. petaka, celaka dan semua duka kepergian lelaki itu membuat kau lupa cara menikmati lelucon.

Buku dan perpustakaan adalah dua hal yang kau sukai, sedangkan tawa dan kepergian seorang lelaki di hari yang sama adalah dua hal yang tidak bisa kau mengerti. Kau tak tahu buku-buku itu rupanya sedang menertawakan diri mereka sendiri. Hidup lebih sebagai pajangan membuat kalimat dan gambarnya melepaskan diri ke udara. Entah sebagai tawa atau air mata. Begitulah buku-buku membaca dirimu dan mengajarkan bahwa tawa adalah cara yang tepat untuk menikmati kesedihan. 
Read More

14 Maret 2015

Mengapa Tuhan Tidak Menciptakan Mesin Waktu

Pict. from here

Pada tengah malam yang buta, saya tiba-tiba terbangun dan tak hendak terpejam lah untuk beberapa lama. Waktu-waktu yang enggan dilalui mata saya dengan bermimpi diluangkan untuk iseng membuka lini kala di twitter dan akhirnya terjerembab di salah satu postingan blog seorang teman yang malam itu ia cuitkan. Anehnya, teman ini membuat saya bisa menulis lagi di blog ini setelah sekian lama. (terima kasih, kak. :) )

Saya tak begitu mengerti apa yang dituliskannya - terbangun tengah malam tentu membuat kepala sulit diajak fokus, apalagi dipaksa - tetapi saya bisa menangkap keresahan-keresahan yang dibentuk oleh sekumpulan kalimatnya: penyesalan.

Ada banyak alasan yang membuat orang merasakan sesal, tetapi hanya perlu satu komponen untuk membuat orang-orang itu menyadari penyesalannya. Kita menyebut komponen itu sebagai waktu. Pepatah "penyesalan selalu datang belakangan" sudah ada sejak entah dan manusia tak pernah bisa menyadari artinya sampai mereka merasakannya sendiri.

Berangkat dari penyesalan, kita kemudian mulai belajar mereka-reka masa lalu yang secara harfiah hanyalah setumpuk ingatan getir. Kita (atau sebut saja mereka, jika kau keberatan dan pikiranmu mulai mengoceh, "kita? loe aja kali.") mulai berandai-andai terhadap berbagai kemungkinan yang seharusnya dilakukan ketimbang apa yang sebenarnya telah terjadi. Mengubah masa lalu adalah alasan paling mudah dan mungkin satu-satunya yang bisa dipikirkan para ilmuwan untuk menciptakan mesin waktu.

Sampai saat ini, dengan berandai-andai, kepalamu adalah mesin waktu paling ekonomis sekaligus realistis yang tidak pernah diciptakan manusia. Masa lalu - dalam kepalamu, hanya dalam kepalamu - dapat berubah sesuai keinginanmu. (Ah! saya pernah menulis cerpen tentang ini.)

Saya tak tahu tentangmu, tetapi agama saya (ya, agama) tidak terlalu bersahabat dengan istilah berandai-andai. kebanyakan berandai-andai membuat kita lupa bersyukur pada apa adanya kita kini. Penyesalan membuat kita menjadi lebih teliti pada kesalahan-kesalahan lampau dan mengubahnya menjadi rayap yang memakan keteguhan hidup kita sendiri. Kita menjadi rapuh dan mudah diserang rasa bersalah. Padahal, bahkan jika kita berhasil mengubah satu momen penyesalan menjadi seperti yang kita inginkan tak pernah ada jaminan kekinian kita akan berakhir lebih baik. Masa depan selalu menyediakan ketidakpastian.

Tak sepenuhnya buruk, berandai-andai tentang masa lalu diperbolehkan untuk diambil sebagai pelajaran, bukan penyesalan. Bahkan tanpa perlu dikhayalkan, penyesalan sesungguhnya membuat kita memahami arti kesalahan sebagai sesuatu yang pantas diterima. Itu artinya kita telah sampai pada fase memaafkan diri sendiri dan belajar darinya. Adapun kata-kata atau sikap orang lain terhadap kesalahan kita semestinya tak menjadi alasan kita ikut membenci diri sendiri. Bukankah kesalahan yang menjadikan kita manusiawi?



Dengan semua kesalahan yang terjadi, bisakah kita tidak menyesal? Tentu saja bisa. Tidak segala kesalahan membutuhkan kekecewaan. Saya gagal melanjutkan hubungan dengan seseorang, dan saya tak menyesali waktu-waktu saya yang terbuang bersamanya. kesedihan dan kekecewaan adalah dua hal yang bertalian meski tak selalu harus hadir bersamaan. Bukan hidup namanya jika jalan kita hanya berpapasan dengan yang baik-baik saja atau yang indah-indah saja.

"Sebanyak-banyaknya penyesalan, saya berpikir, kita punya lebih banyak perihal yang patut disyukuri" ~ falra.


Jika kamu masih belum mengerti, kamu perlu menonton film di atas, atau jika sudah, tontonlah lagi. saya mengingat film itu sesering saya menyesali sesuatu. Ada banyak film tentang mesin waktu, dan pesannya relatif sama. Namun saya lebih suka film "The Time Machine" (2002) ini.

PS: Tolong jangan menganggap saya orang bijak karena tulisan ini (nanti saya Ge-er). Saya hanya orang yang menganggap masa lalu layaknya keindahan alam. Tak perlu diusik, biar saja seperti adanya. Jika kau tak percaya, baca saja judul blog ini.



Read More
Diberdayakan oleh Blogger.