10 Mei 2016

DORO LONDA

Fathulrachman


Fatimah Intan Karimah, 4 th


Sebelah alis La Hami terangkat. Ini kali ke dua ia melewati pohon asam yang sama sejak mula memutuskan untuk turun dari bukit itu. Padahal La Hami hanya berjalan lurus ke bawah. La Hami ingat betul pohon asam yang persis seperti di hadapannya sudah ia lalui beberapa puluh meter di bagian bukit yang lebih tinggi.
La Hami menghentikan langkahnya lalu meletakkan seikat besar kayu bakar yang dipanggulnya ke tanah. Cepat-cepat kepalanya ia tolehkan ke belakang seperti meminta kepastian pada jejak-jejak kakinya sendiri. Tanah masih basah akibat hujan sepanjang pagi. Sungguh tidak mungkin ia melewati dua pohon asam yang sama persis tanpa meninggalkan jejak kaki yang sama pula. Dalam pikirannya yang bergumul dengan logika, terlintas dalam benak La Hami, mungkin memang ada yang aneh dengan bukit ini.
Sejak mengenal dunia, La Hami dan orang-orang di desanya sebenarnya sudah diwanti-wanti untuk tidak pernah mendaki ke bukit keramat itu, apa pun alasannya. Katanya, bukit itu iso. Ompu Tua selalu menegaskan larangannya, “jangan sekali-sekali mendaki Doro Londa! Jangan cari perkara dengan doro itu! Siapa saja yang naik ke sana tak akan pernah kembali kecuali dengan membawa petaka.”
Doro Londa telah menjadi simbol hal-hal gaib bagi masyarakat di desa Panda, tempat La Hami tinggal, dan desa-desa lain yang membentang di kaki bukit tersebut. Menurut orang-orang desa, bukit itu sudah dikeramatkan sejak masyarakat masih menganut kepercayaan makakamba-makakimbi, sebelum Sang Bima datang. Dari bibir setiap sudut desa, La Hami sudah banyak mendengar cerita-cerita mistis yang dilahirkan oleh rahim Doro Londa dan entah berapa banyak lagi yang masih dikandungnya.
Doro Londa dan mitosnya selalu terselip di setiap pembicaraan warga desa. La Hami sering kali mendengar Ompu Tua bercerita tentang banyaknya jin yang menunggui bukit itu, serta kesialan yang akan menimpa siapa saja yang mendekati Doro Londa. Melalui ibu-ibu yang berkumpul saat membeli sayur keliling, La Hami juga tidak sengaja mendengar tentang mitos ular raksasa yang berkeliaran di bukit. Dari para remaja yang diam-diam pernah mendaki Doro Londa, La Hami mendengar lebih banyak variasi cerita. Mulai dari istana jin beserta pasukannya, kucing atau burung raksasa, sampai mahluk jadi-jadian. Setiap mereka khatam mendeskripsikan suatu mahluk, anak-anak remaja lain yang mendengarkan selalu ada yang mengelus-elus bulu tengkuknya atau sekedar menggigil kengerian.
La Hami tak punya pilihan selain mencari kayu bakar di Doro Londa. Melihat ibunya menjadi buruh di ladang orang lain untuk mengisi perut mereka berdua membuat hati La Hami perih. Selain menjadi buruh ladang, Kadang-kadang jika sedang sangat butuh uang, ibu La Hami mengetuk pintu rumah tetangga sekitar, menanyakan apakah ada pakaian yang mau dicucikan olehnya.
Ibunyalah satu-satunya orang yang tahu tentang pendakian doro londa yang dilakukan La Hami. Berkali-kali ia naik turun tanpa sepengetahuan orang desa kecuali ibunya. Berkali-kali pula ibunya membujuk La Hami mengurungkan niatnya untuk kembali menjajaki Doro Londa. Awalnya dia tak cuirga dengan kegiatan baru La Hami membantu keuangan keluarga dengan mencari kayu bakar. Betapa kaget bukan kepalanglah dia ketika La Hami mengaku mengambilnya di kedalaman Doro Londa. Meski begitu tentu saja ibunya tak akan melapor ke Ompu Tua. Semua yang diketahui pernah mendekati Doro Londa akan dijauhi warga desa. Bagi Ibu La Hami, itu artinya tak ada lagi yang akan memberinya pekerjaan.
Rasa iba pada ibunya telah membuat La Hami menjadi lelaki yang tidak takut pada mitos Doro Londa betapapun besar petakanya. Petaka terbesar La Hami adalah melihat ibunya tak makan seharian karena tak ada lagi ladang yang perlu digarap atau baju yang perlu dicucikan. Bahkan walau La Hami percaya, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk menjaga tungku di dapurnya tetap menyala. Ia bisa saja mengikut pada sampan-sampan nelayan untuk melaut. Namun pada musim penghujan seperti ini, penghasilan melaut menjadi sulit. Tak banyak ikan yang bisa ditangkap para nelayan, apalagi untuk La Hami yang hanya menumpang sampan. Pada musim hujan, justru kayu bakar menjadi mahal jika dijual di pasar. Itu selama orang-orang tak tahu, kayu tersebut berasal dari Doro Londa.
Kini, setelah mendapat seikat besar kayu bakar, La Hami harus segera turun dari bukit. Langit mulai sendu. Hujan pun bisa turun kapan saja. La Hami harus segera pulang sebelum gelap atau hujan memeluk Tanah Bima. Kayu-kayu itu tak boleh basah agar bisa cepat dijual. Malam ini cahaya purnama juga tak bisa menembus kerumunan awan. Akan sulit untuk menapak dengan aman. Diangkatnya kembali seikat kayunya lalu mulai berjalan menuruni bukit. Ia memutuskan untuk melupakan perihal pohon asam itu. Mungkin kesamaan itu hanya perasaanya saja. Mungkin pula kedua pohon tersebut memang mirip, La Hami saja yang tak terlalu serius menanggapinya. Dengan asumsi-asumsi yang demikian ia menyegerakan langkahnya lurus ke kaki bukit. Ia dan kayu-kayunya harus segera tiba di rumah.
Sesungguhnya, La Hami tak perlu menjadi pencari kayu bakar di Doro Londa jika saja ayahnya tidak pergi mengadu nasib di tanah Sulawesi. Ketika saudagar Makassar yang mendakwahkan islam di tanah Bima pulang ke tempat asalnya, Ayah La Hami ikut menumpang Pinisi dan mencoba peruntungan di sana. Tetapi kabar tiba atau peruntungannya tak pernah kembali ke telinga La Hami dan ibunya. Selama lima kali Muharram, La Hami dan ibunya hidup dengan kerinduan yang disusupi sebentuk pengkhianatan.  Selama tak ada kabar yang jelas tentang nasib ayahnya, La Hami dan ibunya akan selalu tidur dengan dua pertanyaan: apakah ayahnya sudah meninggal, atau sebaliknya, menjadi sukses dan melupakan dia dan ibunya.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, kayu-kayu yang dipanggul La Hami ia turunkan lagi. Kali ini La Hami dicegat oleh perasaan was-was. Jakunnya beberapa kali naik turun menelan ludah. Sekarang La Hami tak mungkin salah, pohon asam yang sudah dua kali dilewatinya lagi-lagi ada dihadapannya. Tak perlu diamati terlalu lama, itu pohon asam yang sama. Tidak ada tiga pohon yang persis sama arah tumbuh dan lekuk batangnya. Yang mengherankan, tak ada jejak kaki yang menapak disekitar situ seolah ini pertama kalinya La Hami lewat.
Gelegar guntur di rerimbunan awan menjadi lonceng dimulainya lagi pertarungan pikiran La Hami. Ia sudah beberapa kali membuktikan keberaniannya di Doro Londa dan itu dilakukannya dengan rute yang sama. Cila mboko yang tersampir di pinggang La Hami menjadi saksi kegagahannya membabat belukar sehingga menjadi sebentuk jalan setapak. Lalu pohon asam itu juga telah menjadi penanda jalan yang harus ditempuhnya untuk kembali ke desa. Setelah melewati pohon asam, La Hami hanya perlu berjalan lurus menuruni bukit. Itu rutenya. Selama berkelana di Doro Londa, belum pernah ia melewati dua atau bahkan tiga pohon asam yang persis serupa. Tapi betapa pun anehnya pemandangan itu, air wajah La Hami tetap keras seolah menolak mengakuinya sebagai petaka. Dahinya yang hitam mengernyit. Tak mungkin aku tersesat, pikirnya.
Di dalam dada La Hami, pohon asam itu seperti penyakit yang pelan-pelan menyerang keteguhannya. Ia tidak ingin menerima keanehan yang sedang dialaminya sebagai peristiwa yang mistis. Namun La Hami tak bisa menjelaskan dengan logis bagaimana pohon asam yang persis sama itu bisa tiga kali ada di hadapannya sedangkan tak ada bekas kakinya yang menjejak. Lagi pula tidak mungkin La Hami tiba di tempat yang sama selama ia hanya berjalan lurus ke kaki bukit.
Berapa lama pun berpikir, La Hami tetap tidak bisa mengerti. Dengan menghitung waktu lamanya berjalan semestinya ia sudah berada di kaki bukit menyusuri jalanan desa lalu tiba di rumah. Sementara desanya belum juga nampak, pertanyaan-pertanyaan aneh terus berloncatan dari kepala La Hami seperti jangkrik yang lepas dari kandangnya. Sesekali, pertanyaannya itu terbentur dengan segala cerita mistis tentang Doro Londa yang sudah lama mendiami ingatannya.
Dahi La Hami mengernyit lebih keras. Tak mau berlama-lama berputar dalam pikirannya sendiri, La Hami memutuskan mengangkat kayu-kayunya sekali lagi. Tak ada yang bisa diketahui dari perdebatan dengan diri sendiri, gumamnya. Toh satu-satunya jalan adalah ke bawah. Sudah terlalu lama ia membiarkan ibunya sendirian di rumah.
Guntur masih bergemuruh seumpama perut La Hami yang kelaparan. Petang sedari tadi telah meremang. Saat-saat seperti itu, dengan mengenakan rimpu di kepalanya, ibu La Hami berangkat ke pasar sore. Ibu La Hami akan mencari keladi dan kelapa untuk menu makan malam. Keladi itu akan direbus dan kelapanya diparut kemudian diasinkan. La Hami sangat suka menu itu. Atau jika beruntung, ibu La Hami bisa mendapat ikan-ikan yang tidak laku dijual dengan harga murah. Ikan-ikan itu akan direbus kunyit asam. Ketika La Hami pulang ibunya selalu telah selesai mengisi kolong tudung saji untuk makan malam.
La Hami terus berjalan membelah Doro Londa sambil masih membayangkan masakan ibunya. Kayu-kayu bakar yang dipanggulnya terayun kokoh seolah tak lagi berat jika menyaksikan kehangatan keladi dan lauk pauk yang terhidang di ingatannya. Kekhawatirannya lenyap sepanjang kenangannya pada suasana rumah dan ibunya. Langkahnya lambat laun menjadi gegas. La Hami yakin, dengan berjalan terus ke bawah kaki bukit, dia akan tiba di jalan desa, lalu masuk ke rumah untuk bersantap malam bersama ibunya, tentu saja jika ia tidak bertemu dengan pohon asam yang sama untuk keempat kalinya.
Bima, 2015
***
Doro: Bukit
Iso: Keramat
Ompu Tua: Tetua adat/Orang yang dituakan dalam sebuah desa
Makakamba-Makakimbi : kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang dianut masyarakat Bima pada Zaman Naka (Prasejarah) sampai sekitar abad ke-8 Masehi.
Cila mboko: Parang yang ujungnya bengkok, biasa digunakan untuk berladang.
‘Dohoe: wahai sekalian.

Rimpu: Sejenis sarung yang biasa digunakan wanita suku Bima sebagai jilbab sejak Islam masuk pada abad ke-16 Masehi.


Dimuat dalam Laman Literasi Lombok Post, 8 Mei 2016

0 comment:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.