Fathulrachman
Fatimah Intan Karimah, 4 th |
Sebelah
alis La Hami terangkat. Ini kali ke dua ia melewati pohon asam yang sama sejak mula
memutuskan untuk turun dari bukit itu. Padahal La Hami hanya berjalan lurus ke
bawah. La Hami ingat betul pohon asam yang persis seperti di hadapannya sudah
ia lalui beberapa puluh meter di bagian bukit yang lebih tinggi.
La
Hami menghentikan langkahnya lalu meletakkan seikat besar kayu bakar yang
dipanggulnya ke tanah. Cepat-cepat kepalanya ia tolehkan ke belakang seperti
meminta kepastian pada jejak-jejak kakinya sendiri. Tanah masih basah akibat
hujan sepanjang pagi. Sungguh tidak mungkin ia melewati dua pohon asam yang
sama persis tanpa meninggalkan jejak kaki yang sama pula. Dalam pikirannya yang
bergumul dengan logika, terlintas dalam benak La Hami, mungkin memang ada yang
aneh dengan bukit ini.
Sejak
mengenal dunia, La Hami dan orang-orang di desanya sebenarnya sudah diwanti-wanti
untuk tidak pernah mendaki ke bukit keramat itu, apa pun alasannya. Katanya,
bukit itu iso. Ompu Tua selalu menegaskan larangannya, “jangan sekali-sekali
mendaki Doro Londa! Jangan cari perkara dengan doro itu! Siapa saja yang naik ke sana tak akan pernah kembali
kecuali dengan membawa petaka.”
Doro
Londa telah menjadi simbol hal-hal gaib bagi masyarakat di desa Panda, tempat La
Hami tinggal, dan desa-desa lain yang membentang di kaki bukit tersebut.
Menurut orang-orang desa, bukit itu sudah dikeramatkan sejak masyarakat masih
menganut kepercayaan makakamba-makakimbi,
sebelum Sang Bima datang. Dari bibir setiap sudut desa, La Hami sudah banyak
mendengar cerita-cerita mistis yang dilahirkan oleh rahim Doro Londa dan entah
berapa banyak lagi yang masih dikandungnya.
Doro
Londa dan mitosnya selalu terselip di setiap pembicaraan warga desa. La Hami
sering kali mendengar Ompu Tua bercerita
tentang banyaknya jin yang menunggui bukit itu, serta kesialan yang akan
menimpa siapa saja yang mendekati Doro Londa. Melalui ibu-ibu yang berkumpul
saat membeli sayur keliling, La Hami juga tidak sengaja mendengar tentang mitos
ular raksasa yang berkeliaran di bukit. Dari para remaja yang diam-diam pernah mendaki
Doro Londa, La Hami mendengar lebih banyak variasi cerita. Mulai dari istana
jin beserta pasukannya, kucing atau burung raksasa, sampai mahluk jadi-jadian.
Setiap mereka khatam mendeskripsikan suatu mahluk, anak-anak remaja lain yang
mendengarkan selalu ada yang mengelus-elus bulu tengkuknya atau sekedar
menggigil kengerian.
La
Hami tak punya pilihan selain mencari kayu bakar di Doro Londa. Melihat ibunya
menjadi buruh di ladang orang lain untuk mengisi perut mereka berdua membuat
hati La Hami perih. Selain menjadi buruh ladang, Kadang-kadang jika sedang
sangat butuh uang, ibu La Hami mengetuk pintu rumah tetangga sekitar,
menanyakan apakah ada pakaian yang mau dicucikan olehnya.
Ibunyalah
satu-satunya orang yang tahu tentang pendakian doro londa yang dilakukan La
Hami. Berkali-kali ia naik turun tanpa sepengetahuan orang desa kecuali ibunya.
Berkali-kali pula ibunya membujuk La Hami mengurungkan niatnya untuk kembali menjajaki
Doro Londa. Awalnya dia tak cuirga dengan kegiatan baru La Hami membantu
keuangan keluarga dengan mencari kayu bakar. Betapa kaget bukan kepalanglah dia
ketika La Hami mengaku mengambilnya di kedalaman Doro Londa. Meski begitu tentu
saja ibunya tak akan melapor ke Ompu Tua.
Semua yang diketahui pernah mendekati Doro Londa akan dijauhi warga desa. Bagi
Ibu La Hami, itu artinya tak ada lagi yang akan memberinya pekerjaan.
Rasa
iba pada ibunya telah membuat La Hami menjadi lelaki yang tidak takut pada
mitos Doro Londa betapapun besar petakanya. Petaka terbesar La Hami adalah
melihat ibunya tak makan seharian karena tak ada lagi ladang yang perlu digarap
atau baju yang perlu dicucikan. Bahkan walau La Hami percaya, tak ada jalan
lain yang bisa dilakukan untuk menjaga tungku di dapurnya tetap menyala. Ia bisa
saja mengikut pada sampan-sampan nelayan untuk melaut. Namun pada musim
penghujan seperti ini, penghasilan melaut menjadi sulit. Tak banyak ikan yang
bisa ditangkap para nelayan, apalagi untuk La Hami yang hanya menumpang sampan.
Pada musim hujan, justru kayu bakar menjadi mahal jika dijual di pasar. Itu
selama orang-orang tak tahu, kayu tersebut berasal dari Doro Londa.
Kini,
setelah mendapat seikat besar kayu bakar, La Hami harus segera turun dari
bukit. Langit mulai sendu. Hujan pun bisa turun kapan saja. La Hami harus
segera pulang sebelum gelap atau hujan memeluk Tanah Bima. Kayu-kayu itu tak
boleh basah agar bisa cepat dijual. Malam ini cahaya purnama juga tak bisa
menembus kerumunan awan. Akan sulit untuk menapak dengan aman. Diangkatnya
kembali seikat kayunya lalu mulai berjalan menuruni bukit. Ia memutuskan untuk
melupakan perihal pohon asam itu. Mungkin kesamaan itu hanya perasaanya saja.
Mungkin pula kedua pohon tersebut memang mirip, La Hami saja yang tak terlalu
serius menanggapinya. Dengan asumsi-asumsi yang demikian ia menyegerakan langkahnya
lurus ke kaki bukit. Ia dan kayu-kayunya harus segera tiba di rumah.
Sesungguhnya,
La Hami tak perlu menjadi pencari kayu bakar di Doro Londa jika saja ayahnya
tidak pergi mengadu nasib di tanah Sulawesi. Ketika saudagar Makassar yang mendakwahkan
islam di tanah Bima pulang ke tempat asalnya, Ayah La Hami ikut menumpang Pinisi
dan mencoba peruntungan di sana. Tetapi kabar tiba atau peruntungannya tak
pernah kembali ke telinga La Hami dan ibunya. Selama lima kali Muharram, La
Hami dan ibunya hidup dengan kerinduan yang disusupi sebentuk
pengkhianatan. Selama tak ada kabar yang
jelas tentang nasib ayahnya, La Hami dan ibunya akan selalu tidur dengan dua
pertanyaan: apakah ayahnya sudah meninggal, atau sebaliknya, menjadi sukses dan
melupakan dia dan ibunya.
Setelah
berjalan beberapa puluh meter, kayu-kayu yang dipanggul La Hami ia turunkan
lagi. Kali ini La Hami dicegat oleh perasaan was-was. Jakunnya beberapa kali
naik turun menelan ludah. Sekarang La Hami tak mungkin salah, pohon asam yang
sudah dua kali dilewatinya lagi-lagi ada dihadapannya. Tak perlu diamati
terlalu lama, itu pohon asam yang sama. Tidak ada tiga pohon yang persis sama
arah tumbuh dan lekuk batangnya. Yang mengherankan, tak ada jejak kaki yang menapak
disekitar situ seolah ini pertama kalinya La Hami lewat.
Gelegar
guntur di rerimbunan awan menjadi lonceng dimulainya lagi pertarungan pikiran
La Hami. Ia sudah beberapa kali membuktikan keberaniannya di Doro Londa dan itu
dilakukannya dengan rute yang sama. Cila
mboko yang tersampir di pinggang La Hami menjadi saksi kegagahannya
membabat belukar sehingga menjadi sebentuk jalan setapak. Lalu pohon asam itu
juga telah menjadi penanda jalan yang harus ditempuhnya untuk kembali ke desa. Setelah
melewati pohon asam, La Hami hanya perlu berjalan lurus menuruni bukit. Itu
rutenya. Selama berkelana di Doro Londa, belum pernah ia melewati dua atau
bahkan tiga pohon asam yang persis serupa. Tapi betapa pun anehnya pemandangan
itu, air wajah La Hami tetap keras seolah menolak mengakuinya sebagai petaka.
Dahinya yang hitam mengernyit. Tak
mungkin aku tersesat, pikirnya.
Di
dalam dada La Hami, pohon asam itu seperti penyakit yang pelan-pelan menyerang
keteguhannya. Ia tidak ingin menerima keanehan yang sedang dialaminya sebagai
peristiwa yang mistis. Namun La Hami tak bisa menjelaskan dengan logis
bagaimana pohon asam yang persis sama itu bisa tiga kali ada di hadapannya
sedangkan tak ada bekas kakinya yang menjejak. Lagi pula tidak mungkin La Hami
tiba di tempat yang sama selama ia hanya berjalan lurus ke kaki bukit.
Berapa
lama pun berpikir, La Hami tetap tidak bisa mengerti. Dengan menghitung waktu
lamanya berjalan semestinya ia sudah berada di kaki bukit menyusuri jalanan
desa lalu tiba di rumah. Sementara desanya belum juga nampak, pertanyaan-pertanyaan
aneh terus berloncatan dari kepala La Hami seperti jangkrik yang lepas dari
kandangnya. Sesekali, pertanyaannya itu terbentur dengan segala cerita mistis
tentang Doro Londa yang sudah lama mendiami ingatannya.
Dahi
La Hami mengernyit lebih keras. Tak mau berlama-lama berputar dalam pikirannya
sendiri, La Hami memutuskan mengangkat kayu-kayunya sekali lagi. Tak ada yang
bisa diketahui dari perdebatan dengan diri sendiri, gumamnya. Toh satu-satunya
jalan adalah ke bawah. Sudah terlalu lama ia membiarkan ibunya sendirian di
rumah.
Guntur
masih bergemuruh seumpama perut La Hami yang kelaparan. Petang sedari tadi telah
meremang. Saat-saat seperti itu, dengan mengenakan rimpu di kepalanya, ibu La Hami berangkat ke pasar sore. Ibu La
Hami akan mencari keladi dan kelapa untuk menu makan malam. Keladi itu akan direbus
dan kelapanya diparut kemudian diasinkan. La Hami sangat suka menu itu. Atau
jika beruntung, ibu La Hami bisa mendapat ikan-ikan yang tidak laku dijual
dengan harga murah. Ikan-ikan itu akan direbus kunyit asam. Ketika La Hami
pulang ibunya selalu telah selesai mengisi kolong tudung saji untuk makan malam.
La
Hami terus berjalan membelah Doro Londa sambil masih membayangkan masakan
ibunya. Kayu-kayu bakar yang dipanggulnya terayun kokoh seolah tak lagi berat
jika menyaksikan kehangatan keladi dan lauk pauk yang terhidang di ingatannya. Kekhawatirannya
lenyap sepanjang kenangannya pada suasana rumah dan ibunya. Langkahnya lambat
laun menjadi gegas. La Hami yakin, dengan berjalan terus ke bawah kaki bukit,
dia akan tiba di jalan desa, lalu masuk ke rumah untuk bersantap malam bersama
ibunya, tentu saja jika ia tidak bertemu dengan pohon asam yang sama untuk keempat
kalinya.
Bima, 2015
***
Doro: Bukit
Iso: Keramat
Ompu Tua: Tetua adat/Orang yang dituakan dalam
sebuah desa
Makakamba-Makakimbi : kepercayaan Animisme dan
Dinamisme yang dianut masyarakat Bima pada Zaman Naka (Prasejarah) sampai
sekitar abad ke-8 Masehi.
Cila mboko: Parang yang ujungnya bengkok, biasa
digunakan untuk berladang.
‘Dohoe: wahai sekalian.
Rimpu: Sejenis sarung yang biasa digunakan wanita suku
Bima sebagai jilbab sejak Islam masuk pada abad ke-16 Masehi.
Dimuat dalam Laman Literasi Lombok Post, 8 Mei 2016