Pict. from here |
Pagi buta menusuk kulitku, menyisakan lebam kasat mata diantara iga-iga
tak bertuan. dingin yang maya membangunkan beberapa butir
airmata tatkala wajah kelabu yang selalu nampak dalam temaramnya dunia
bunga tak pernah mengukir keindahan nyata seperti selama ini mengisi
beberapa kekosongan batin. tak kutemukan rasa sayang disetiap bait
melankolisnya yang mengalun jenuh penuh peluh tanpa keluh. bayangnya tak
kunjung melayang atau memudar meski gelengan kepalaku merasa enggan
mengajukan tanya. pagi buta mengacaukanya.
cahaya belum kunjung berberkas, malam masih mengantuk, dan aku tengah berada di antaranya, terjaga dengan otot yang kelu, layu, tidak kaku bersama angin yang juga masih diam membisu. kudapati suaramu memecah hening, menanyakan keadaanku dan apa yang kulakukan. kau mendapatiku masih lekat bersama kebisuanku yang menerawang kegelisahan bayangnya dan kau pun berlalu.
aku tersandar di bingkai jendela, menatap lurus padamu yang memunggungiku dengan bantalmu, seolah marah, atau ngambek kata mereka. aku geli menyaksikan langit malam yang untuk pertama kalinya marah. bukan kah telah ku ceritakan kesahku padamu. Tentang matanya yang saat ini menyendu, soal rambutnya yang masih terus ia sisir rapi. atau mengenai tawanya yang mulai mengabur. bukankah?
temaram mencipta siluet di ufuk-ufuk fajar, mencakar bentuk-bentuk emas diantara kanfas hitam yang membiru, membunuh malam. Induk-induk bintang mulai menidurkan anak-anaknya sebelum mereka sendiri. lagu pengantar hari pun sedari tadi telah menggema, menyentakkan kita menjauhi amarah, membawa kita ke ujung ngarai untuk mandi bersama menenangkan batin sembari menunggui angin kering kembali membawa surat darinya. tentang matanya, soal rambutnya, atau mengenai tawanya. masihkah sama.
cahaya belum kunjung berberkas, malam masih mengantuk, dan aku tengah berada di antaranya, terjaga dengan otot yang kelu, layu, tidak kaku bersama angin yang juga masih diam membisu. kudapati suaramu memecah hening, menanyakan keadaanku dan apa yang kulakukan. kau mendapatiku masih lekat bersama kebisuanku yang menerawang kegelisahan bayangnya dan kau pun berlalu.
aku tersandar di bingkai jendela, menatap lurus padamu yang memunggungiku dengan bantalmu, seolah marah, atau ngambek kata mereka. aku geli menyaksikan langit malam yang untuk pertama kalinya marah. bukan kah telah ku ceritakan kesahku padamu. Tentang matanya yang saat ini menyendu, soal rambutnya yang masih terus ia sisir rapi. atau mengenai tawanya yang mulai mengabur. bukankah?
temaram mencipta siluet di ufuk-ufuk fajar, mencakar bentuk-bentuk emas diantara kanfas hitam yang membiru, membunuh malam. Induk-induk bintang mulai menidurkan anak-anaknya sebelum mereka sendiri. lagu pengantar hari pun sedari tadi telah menggema, menyentakkan kita menjauhi amarah, membawa kita ke ujung ngarai untuk mandi bersama menenangkan batin sembari menunggui angin kering kembali membawa surat darinya. tentang matanya, soal rambutnya, atau mengenai tawanya. masihkah sama.
7 comment:
inikah yang namanya keindahan sebuah moment, gambaran yang sempurna.
salam kenal saja
thanks
pilahan kata yang cerdas..
karya yang bagus..
#blogwalking senja
Asli, gak tau mau komeng apa :)
Nyengir doang.hha
yap. momen penantian fajar.
makasih dah berkunjung. :)
hehe. makasih mas. silakan walking2 lagi...
ah, uchank, g boleh gitu. kritik dan saran dari ente dibuka lebar... hehe
maut banget pemilihan kata-katanya. terhanyut tiap membaca
Posting Komentar