Sudah sepuluh kemarau
sejak kau tak lagi terlihat di tebing Padangkawi, memandangi lautan yang selalu
bungkam setelah mencuri kekasihmu. Sambil berdiri, kau dulu selalu bertanya
pada angin laut tentang kabar kekasihmu itu setiap Minggu sore, mengacuhkan
para camar yang menertawaimu. Saat lelah berdiri, kau mulai mencari ranting
pohon lalu duduk sambil mengukir nama kekasihmu itu di tanah. Kau tak tahu, aku
hampir selalu mendapati airmatamu merembes di tebing pipimu yang halus sebelum
meloncat ke sela huruf-huruf yang kau
tulis.
Pertama
kali aku melihatmu di sana, kau begitu ceria dengan baju putih dan rok bercorak
bunga Alamanda. Masih bisa kuintip sesimpul senyum yang kau gantungkan. Kala
itu kau tengah melambai pada kapal kayu yang melintasi garis cakrawala. Hingga
senja tertidur kau masih disana, dengan senyum yang tak mengendur.
Read More