Seperti Layang-Layang Api yang meramaikan sandiakala, Aku masih berharap kau masih sudi meramaikan kesenduanku. |
17 Juli 2010
Aku ingin warna hijau di soreku.
bukan cokelat.
bukan cokelat.
Dizastri,
andai saja kau mampu bertahan tanpa pertanyaan, maka aku akan berhenti bertanya. karena kau tahu, aku tak ingin percakapan kita berakhir, meletakkan kita pada titik nadir, berkata "ini semua adalah takdir," dan berlalu dibelakang angin yang berhembus getir.
tanpa seucap salam pun.
akhir-akhir ini selalu begitu.
aku akan tersenyum karenanya. kecut.
hari ini aku melihat Layang-Layang Api saling menyambar, beterbangan dibawah senja yang jingganya membakar di ujung yang satu dan gelap mulai mengiris di ujung yang lain. meski November belum tiba, mereka sudah disana, menjadi iring-iringan gerimis yang menangisi malam. tahu kah kau Diza, mereka mengingatkanku pada percakapan terakhir kita dibawah hujan yang mengguyur, menghabiskan sore yang sama dalam guratan langit yang benar-benar berbeda. mengingatkan aku juga kepada tawamu yang kini masih kusimpan dalam sekotak biskuit, yang kubuka setiap kali aku bercokol bersama sepi setengah tidur.
aku bertanya, kau menjawab,
aku bertanya lagi, kau diam,
lama, lama sekali.
bagiku, cinta adalah keakuan dan kekamuan yang mengkita. lalu didalam kekitaan kita ada seutas keterikatan yang mengkait. maka pernah suatu senja, kau seperti tengah mengendurkan kait dengan keheningan. terlebih ketika angin senjakala mendukungmu. ikut diam dan menjadi benci pada api lilin yang menari. seketika kita dipisahkan oleh alunan instrumental dan malam yang tak lagi romantis. aku tak suka itu. ya, mungkin sejak saat itu aku jadi tidak suka pada keheningan malam.
Diza,
seseorang pernah bicara mengenai ketakutan padaku. katanya, setiap orang akan menjadi pengecut terhadap sesuatu. dan tahu kah kau, aku merasa sesuatuku adalah kau, matamu yang empat, dan senyummu yang muram. ketakutanku adalah saat kau beralih pada transparansi fisik, memudar, menjadi siluet. kepengecutanku adalah kau dengan segala pesonamu namun dengan pandangan yang kontralateral. ya, tidak spesifik, tapi aku tahu.
mungkin perahu kita hanya menunggu siluetmu
atau mungkin hanya aku yang malas mengangkat sauh
menyaksikan dermaga menahan peluh
merasa ragu meninggalkanmu jauh
meski sangat jelas tanganmu meraih Layang-layang Api.
tidak pernah ada yang tahu satuan jarak yang memisahkan keterikatan, Diza. aku juga tidak ingin tahu. yang jelas, diammu juga jawabanmu yang seadanya meletakkan kita pada jarak yang sangat jauh. jadi, ketakutanku adalah sebuah logika sederhana yang masuk akal. karena diujung semua logika ciptaan yang waras, aku tidak ingin kehilangan dirimu.
salam rindu lagi,
aku, Toples Gula.
aku, Toples Gula.