Dear Lana,
Suatu
ketika aku bertanya pada diriku sendiri, apakah mencintai itu akan
membuatmu menjadi gila? Apakah kecintaan seseorang pada sesuatu adalah
kegilaan? Dan mengapa seseorang yang begitu mencintai lantas juga bisa
tergila-gila? Sesungguhnya, gila itu apa? Milik siapa?
Ah,
maaf Lana. Aku mungkin membuatmu bingung. Aku hanya heran dengan kata
‘gila’ itu kini sering disebut-sebut. Dimana-mana. Dirumah, kantor,
teve, pasar. Maka siapakah yang sepantasnya kita katakan gila?
Waktu
aku SD pernah ada seorang wanita kumal yang selalu berdiri di balik
pagar batu rumahnya, tengah meracau dengan liur yang selalu tumpah dari
mulutnya. Ya, kata orang, dia ‘gila’. Katanya, kekasihnya pergi
meninggalkannya, maka ia menunggu disana. Dan ya juga, ia dikerjai.
Wanita itu melakukan apapun perintah usil dari luar pagar yang
dimengertinya. Benarkah Lana? ‘gila’kah ia? Siapakah yang ‘gila’? Wanita
itu atau yang mengerjainya?
Di waktu yang dulu pula,
seorang pria hitam tak berumah, berbaju loreng sering datang di taman
sekolah, duduk penuh antusias diantara siswa SD meracaukan kisah-kisah
perang melawan penjajah, lengkap dengan bunyi senapan dan granat yang
meledak. Para siswa pun tak kalah antusias mendengar dengan imajinasi
penuh. Lagi, katanya dia ‘gila’ setelah keluarganya menjadi korban
penjajahan dulu. Benarkah?
Lana,
Mungkin
gila adalah objektivitas. Mungkin status itu bergantung pada seberapa
banyak, atau seberapa sering ‘katanya’ dituduhkan. Maka penantian di
tengah mereka yang tidak menanti adalah kegilaan. Kehilangan di tengah
kelompok yang tak pernah kehilangan adalah kegilaan. Mungkin saja dalam
pikiran mereka kitalah yang gila, dan mereka yang waras, hanya saja
suara mereka tak cukup banyak. Ah, tapi benarkah begitu? Jika memang
begitu, lalu mengapa di suatu ketika yang lain saat ada banyak individu
yang dikatai gila terpenjarakan, mereka malah saling mengolokkan
kegilaan disekitarnya alih-alih memperjuangkan kewarasannya
masing-masing? Bukankah mereka sama-sama gila? Mengapa bukan sang sipir,
atau bukan aku yang mereka katai gila?
Mungkinkah
kegilaan adalah keterpenjaraan yang lebih sempit dari jeruji besi tempat
mereka tinggal? Mungkin iya. Mungkin kegilaan perlahan menjadi kurungan
masing-masing individu oleh raganya terhadap lingkungan. Sehingga
interaksi yang paling waras untuk dilakukan adalah berbicara dengan
dinding-dinding raganya itu. Dengan dirinya sendiri. Mungkin pula
kegilaan adalah keterhempasan dari masa lampau. Waktu mengempas mereka
di masa kini dan bersamaan memaksa meninggalkan jiwa mereka di masa
lampau. Mereka, hanya tidak berada pada waktu yang tepat. Tapi siapakah
yang akan mengerti? Keterhempasan mungkin membuat mereka menjadi
terasing, menjadi sendiri, menjadi kesepian. Siapa yang tahan menjadi
sendiri? Tidak ada. Tidak juga orang ‘gila’. Maka mungkin mereka bicara,
menyanyi, bergumam sendiri. Menciptakan seseorang yang meski khayalan
untuk menggantikan jiwa mereka yang tertinggal. Kalau memang begitu,
siapa yang bisa meyakinkan kita bahwa kita, aku juga kamu Lana, tidak
gila jika interaksi yang paling waras untuk kita lakukan adalah dengan
diri kita sendiri? Toh, kita juga terjebak dengan memori kita
masing-masing.
Lana,
Setiap orang bisa
berbahagia dengan berbagai alasan, namun kebanyakan dari kita bersedih
karena lasan yang sama: kehilangan. Kata dokter, kehilangan adalah
pemicu depresi, dan depresi bisa membawamu ke arah kelainan kejiwaan.
Tapi aku tidak depresi, sepanjang sepengetahuanku. Tapi sepengetahuanku
tak bisa membuktikan apapun.
Aku mungkin sedang berada di penjara
ketidakwarasan namun aku tak tahu apa aku ini gila atau tidak, sama
seperti aku tak tahu aku telah jatuh cinta padamu atau tidak. Aku sedang
diambang kebingungan. Para pencinta menyebutnya kegalauan. Jika gila
adalah sebutan bagi ketidakwarasan karena kehilangan, lalu harus kusebut
apakah ketidakwarasan karena kehilangan sesuatu yang bahkan belum
pernah dimiliki? Dan ironisnya, Lana, ketidakwarasan ini menyamankan…
Ketidakwarasan padaku membuat bayangmu slalu ada,
menentramkan malamku, mendamaikan tidurku
Aku mulai nyaman berbicara pada dinding kamar,
aku takkan tenang saat sehatku datang.
Ketidakwarasan padaku, selimut tebal hati rapuhku
Aku takkan sadari bahwa kau tak lagi disini.*SO7:Ketidakwarasan Padaku